Mohon tunggu...
SURAT TERBUKA
SURAT TERBUKA Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pingin Masuk Syurga Bi Ghoiri Hisab

Mencari Doa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

NovelSaciko 3 : Ibunya Bukan Macan Saja

23 Desember 2015   23:49 Diperbarui: 1 April 2017   08:42 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi"][/caption]“Plakk,,,”

Tamparan keras mendarat di wajahku dari tangan kasar Bu Zulfa, Guru Bimbingan Konseling yang selalu menggunakan kekerasan dalam mendidik siswanya. Aku menatapnya tajam. Ingin melawan namun apa kan daya, nilai dan kedudukanku sebagai siswa taruhannya.

“Sudah Bu,,,

Biarkan! kasian Dia. Lagian ada rahasia yang terlihat dibalik ucapan anak ini,” lerai Pak Ridwan, kepala Sekolahku yang memang sangat baik. Hanya saja kondisi SDM di sekolah itu yang membuat kami sering frontal.

Mendengar jawaban itu, hati ini terasa sejuk. Seketika itu juga saya langsung bersujud di Kaki Ibunya Sachiko. Memohon maaf dan mengatakan jika ada sesuatu yang harus saya sampaikan, tapi bukan di ruangan ini.

 

Bagian 3

Ibunya Sachiko Bukan Macan Saja

Aku disuruh keluar dari ruangan itu. Tak langsung masuk kelas, masih sembab mata ini. Air mata yang keluar karena berbagai perasaan. Bagaimana keadaan Sachiko sahabatku. Dimana dia. Siapa sesungguhnya Bapak dan Ibunya.

Perbedaan sikap kepala sekolah dan guru-guruku. Cerita seks yang kutemukan di Internet. Lomba cerita pendek yang ingin aku ikuti. Semuanya berkecamuk membadai dalam otak yang belum saatnya memikirkan sebagian dari problema itu.

 

“Nak,,,Sapa Ibunya Sachiko ramah.

“Ii..iya bu,” jawabku terbata menghapus tangis.

“Cowok kok cengeng, ayo ikut kami sudah saya izinkan sama pak kepala dan bu guru BK-nya.

“Kemana bu?

“Ikut saja” jawab Ibunya Sachiko.

“Ya bu, ambil tas dulu, sekalian titip motor buntut sama teman, saya juga mau menghibur diri ini bu,ujarku seolah kenal lama.

 

Saya ikut naik di Mobil Ibunya Sachiko. Di dalam Mobil ibunya banyak bercerita tentang keluarganya. Sehingga saya tidak bertanya mengapa Bapaknya Sachiko tak ikut datang. Saya diam saja sambil sesekali menatap dan mengiyakannya.

Ibunya Sachiko yang mengaku bernama Bu Laju itu bercerita bahwa cintanya dengan Bapaknya Sachiko adalah cinta pelarian karena sebuah kecelakaan di masalalu. Nama Laju-pun katanya adalah nama yang bersejarah. Tapi enggan dia bercerita saat itu.

Aku terkejut karena arah mobilnya terus saja melaju spertinya melewati Lombok Timur dan kini kami berada di perbatasan kabupaten. Jenggik, nama desa itu.

“Kita mau kemana bu,” tanyaku memberanikan diri memotong cerita Bu Laju.

“Udah iku saja. Kita mau ke Rumah di Mataram. Rumah rahasia Ibu yang tidak diketahui sama bapaknya liandra,”

“Oh ya bu, kalau saya g’ panggil anak Ibu Liandra, maaf ya Bu?

“Trus kamu manggil apa?

“Sachiko bu,” hehe ujarku mencoba lebih akrab.

 

Ibunyapun bertanya mengapa Aku memanggil Liandra dengan nama Sachiko. Kini tinggal Aku yang bercerita panjang sampai berhasil membuat Bu Laju meneteskan air mata. Melihat tangisnya saya terkesima ternyata walaupun berpenampilan seksi, Bu Laju ternyata bisa menangis. Satu lagi pengalaman hidupku bahwa wanita yang seksi ternyata punya hati juga.    

“Kalau Ibu nangis, terlihat,,,,,,,,,

Tapi jangan marah ya bu, sapaku menghentikan cerita tak ingin melihat Bu Laju larut dalam tangis.

“Terlihat apa?, Tanyanya sambil mengambil tissue.

“Terlihat , , , , Macan, hehehe,”Aku nyengir.

“Kok Macan sih, , , ,

“Manis and Cantik,” sambutku yang disambut senyuman bu Laju yang mirip sangat dengan sahabatku Sachiko yang sedang menghilang dan masih menjadi tanda Tanya. Tapi Aku mulai yakin berkah do’a Ibu Sachiko pasti akan segera kembali dan pasti dalam keadaan selamat.

 

****

 

“Oya bu, boleh nanya?

“Nanya apa nak?

“Boleh tau profesi Ibu ma Bapaknya Sachiko?

“Hmmm,”…….., tidak menjawab

Bu Laju terlihat berat menyebutnya. Lama kami terdiam dan saya mulai merasa takut sekaligus penasaran. Sampai 3 kilo perjalanan, Bu laju terus saja diam. Kaku rasanya suasana saat itu.

(Bersambung,,,)

[caption caption="fiksi"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun