Amr ma'ruf nahyi munkar bagi Front Pembela Islam (FPI) yang menggunakan pendekatan kekerasan membuat masyarakat resah dan jengah. Pekikan takbir diiringi kekerasan verbal seperti bunuh dan penggal menjadi dopping para pecinta M Rizieq Syihab ini untuk lebih beringas. Tak hanya kekerasan verbal, FPI kerapkali menggunakan kekerasan fisik untuk menghakimi mereka yang berbeda keyakinan dengan mereka.
Pada perkembangannya, FPI menjelma menjadi motor politisasi SARA dalam Pilgub DKI Jakarta. Dari momen ini menunjukkan jati diri sesungguhnya bahwa FPI adalah organisasi pragmatis yang dijadikan alat para elit untuk merengkuh kursi kekuasaan. Pilpres 2019 semakin memantapkan FPI sebagai gerbong politis atas nama agama.
Pilpres 2019 melahirkan polarisasi tajam kedua kubu hingga kini. Padahal kita semua tahu bahwa Prabowo-Sandi yang notabene lawan tarung di Pilpres, saat ini duduk manis di jajaran kabinet Jokowi-Amin. Â Â Â
Pendukung kedua kubu harusnya sadar bahwa karakter politik itu dinamis. Hari ini lawan, besok bisa jadi kawan. Begitupun sebaliknya. Dalam hitungan detik konstalasi politik dapat berubah seketika, tergantung kepentingan yang menyatukan mereka.
Melihat politik FPI yang pragmatis, mereka mempersiapkan diri menjelang 2024. Segala cara mereka lakukan. Mereka seperti biasa menggunakan jurus utama mereka, memobilisasi massa. Mereka tidak sadar bahwa nasib mereka justru di ujung tanduk karena blunder ini. Dan kisah tragis mereka dimulai.
Pemerintah telah resmi melarang semua kegiatan FPI. Pemerintah menyebut FPI kini tidak memiliki legal standing sebagai ormas. Keputusan itu disebut sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 82/PUU112013 tertanggal 23 Desember tahun 2014.
Dengan larangan dan tidak ada legal standing kepada aparat pusat dan daerah, kalau ada sebuah organisasi mengatasnamakan FPI, tidak ada dan harus ditolak mengutip Mahfud dalam konferensi pers di kantornya, Rabu (30/12).
Menurut Mahfud, sejak 20 Juni 2019 secara de jure FPI sudah bubar sebagai ormas, namun tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban umum. FPI sejak 20 Juni 2019 secara de jure telah bubar sebagai ormas tapi sebagai organisasi FPI tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan, dan bertentangan dengan hukum seperti tindak kekerasan, sweeping, razia sepihak, provokasi dan sebagainya
Pelarangan FPI bukan berarti pemerintah anti-Islam. Itu masalah hukum dan kepatuhan pada konstitusi negara. Nyatanya secara empiris pemerintah membiarkan ormas Islam lain tetap eksis. Bahkan pemerintah dan ormas Islam saling mendukung dan berkolaborasi setiap programnya yang sifatnya memajukan bangsa.
Pemerintah secara real dalam berbagai kesempatan, merajut komunikasi dan kerja sama konstruktif yang sifatnya untuk kemaslahatan umat dan kesejahteraan masyarakat seperti membangun ekonomi keumatan, membangun fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan bahkan deradikalisasi yang melibatkan ulama.
Narasi islamofobia sangat ngawur dan tidak beralasan. Karena secara nyata pemerintah menjalin kerja sama baik dengan kelompok-kelompok Islam yang memiliki visi membangun Indonesia.
Seperti program redistribusikan aset lahan kepada masyarakat. Aset yang diredistribusikan tersebut sebanyak 12,7 juta hektare didistribusikan kepada masyarakat. Salah satu chanelingnya adalah lewat pesantren, madrasah para alim ulama, para ustaz, pondok pesantren, dan kemudian ormas-ormas.
Umara (pemerintah) tidak bisa berjalan sendiri tanpa kehadiran ulama. Karena umara butuh ma'idhah (nasihat), masukan, bahkan kritik yang konstruktif dari ulama. Begitupun pemerintah butuh pandangan objektif ulama guna memutuskan kebijakan yang mengandung kemaslahatan bagi umat dan bangsa Indonesia
Kita patut mengapresiasi keberanian pemerintah membubarkan ormas yang tidak memiliki komitmen kuat memegang teguh Pancasila sebagai asas negara. Apalagi jika ormas itu meresahkan masyarakat dengan tindakan main hakim sendiri dan mengedepankan aspek kekerasan.
Walhasil, kita juga harus mendorong pemerintah menyediakan ruang rehabilitasi dan pendampingan bagi para eks-simpatisan FPI agar mereka dibina dan diberdayakan. Sebagai WNI, mereka berhak mendapatkan pembinaan ideologisasi Pancasila. Pemerintah harus berkoordinasi dengan ormas seperti Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah guna mendapatkan pembinaan.
Memang secara organisasi sudah lumpuh, tapi secara ideologis, ideologi kekerasan masih bersemayam dalam kognitif kader dan simpatisan FPI. Dalam hal inilah, pemerintah dan ormas yang mengarusutamakan moderasi dan toleransi harus segera membuat langkah taktis guna mencegah embrio ideologis kekerasan FPI lahir dalam wujud yang lain. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H