Mungkin beberapa lembaga yang mengatakan minat baca masyarakat kita rendah, itu karena mereka mengukurnya yang membaca puisi, cerpen dan novel. Kalau tolak ukurnya diperluas, membaca status Facebook atau thread di tuiter, mungkin minat baca masyarakat kita paling tinggi sedunia.
Sejak awal bulan Maret, saya memutuskan menulis rutin di Kompasiana. Meski ada beberapa hari yang bolong (tidak menulis) tapi saya berusaha menuntaskan tantangan suami untuk menulis secara rutin. Dan kalau bisa, berlanjut di bulan-bulan ke depan.
Selama menulis di Kompasiana, ada beberapa pengalaman yang menarik, yang ingin saya bagikan. Mulai dari memilih topik, memilih gambar dan sumbernya, memilih judul, hingga gaya menulis. Mulai dari pengalaman pahit, hingga yang paling manis -- saat dua tulisan menjadi Artikel Utama.
Namun, kali ini saya ingin membagikan hasil dari penelitian kecil di Kompasiana. Kenapa? karena tantangannya masih tersisa satu hari besok. He-he.
Penelitian ini didorong oleh pernyataan suami saya, yang mengatakan bahwa pembaca cerpen dan puisi sangat sedikit di Kompasiana -- padahal kan saya penulis cerpen dan puisi. Pernyataan itu terucap karena saya tertantang untuk mengumpulkan views paling sedikit 3000 (jumlah view minimal untuk k-reward)
Kenapa saya tertantang? Karena suami saya gagal ketika pertama kali Kompasiana mengadakannya (perhitungan yang dia buat berhasil, namun  pihak Kompasiana mengaku menggunakan google analitics). Ini adalah kesempatan saya untuk mengalahkannya, setelah saya kalah dalam perlombaan menerbitkan buku darinya. (Ehm... persaingan yang positif)
Oke. Kembali ke penelitian.
Antara ragu dan percaya. Antara mau dan tidak mau. Saya mengikuti nasihat suami, dan hanya sesekali menulis puisi. Dan benar, pembaca puisi sangat sedikit di Kompasiana. Tetapi saya tak mau menarik kesimpulan hanya karena pembaca puisi saya sangat sedikit.Â
Bisa saja karena puisi saya jelek, atau judulnya tak menarik, atau tema yang saya angkat sudah kliese. Maka diam-diam, saya memperhatikan setiap puisi yang tayang. Dan bila ada puisi yang menjadi Artikel Utama, saya baca. Lalu saya pelajari kenapa bisa jadi Artikel Utama.
Pun demikian dengan cerpen. Setiap kali ada cerpen yang bisa menjadi Artikel Utama, saya baca, dan kemudian saya bedah.
Saya belum bisa menuliskan hasil "pembedahan" terhadap puisi dan cerpen itu - maksud saya, dari segi kualitas. Saya hanya ingin menuliskan hasil penelitian saya, yang menguatkan pernyataan suami : pembaca puisi dan cerpen memang sangat sedikit.
Penilitian tersebut tidak menggunakan metode ilmiah. Hanya penilitian iseng untuk kepentingan pribadi -- syukur-syukur bermanfaat bagi teman-teman sesama penulis Kompasiana yang mengejar views. Bagi kawan-kawan yang idealis (seperti suami saya) penelitian ini mungkin tak bermanfaat.Â
Tapi, setelah terjadi perbicangan dengan suami soal hasil penelitian ini, dia berkata, "Mungkin beberapa lembaga yang mengatakan minat baca masyarakat kita rendah, itu karena mereka mengukurnya yang membaca puisi, cerpen dan novel. Kalau tolak ukurnya diperluas, membaca status Facebook atau thread di tuiter, mungkin minat baca masyarakat kita paling tinggi sedunia."
Pernyataan suami saya itu masuk akal. Saya memang gak tahu ukuran minat baca yang digunakan oleh lembaga itu, tapi pengalaman saya selama menulis di Kompasiana menunjukkan, minat baca masyarakat kita tidak rendah.Â
Coba lihat saja berapa artikel setiap hari yang tayang. Berapa pembacanya. Ini masih satu platform menulis berbagi. Di luar ini, masih banyak lagi. Belum lagi platform untuk novel, cerpen, dan puisi.
Ya, pada akhirnya, mudah-mudahan penelitian kecil ini bermanfaat bagi banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H