Setelah proses dan resepsi pernikahan yang panjang, tubuh dan jiwa pastinya membutuhkan relaksasi. Tapi bagaimana menikmati hal tersebut bila tabungan telah terkuras untuk biaya pernikahan?
Tenang. Nusantara menyuguhkan banyak tempat yang tak membutuhkan biaya banyak. Bali salah satunya. Bagi saya, bulan madu di Pulau Dewata adalah perayaan cinta yang tak akan terlupakan selamanya : senja yang romantis, kekayaan budaya yang menenangkan jiwa, pemandangan indah yang menyejukkan mata, serta biaya yang relatif murah.
Apa lagi yang kurang?
Mengadakan perjalanan ke Bali juga tak terlalu sulit. Banyak agen perjalanan yang menawarkan berbagai paket liburan yang menarik dengan bermacam level harga. Awalnya saya dan suami ingin membeli paket spesial honeymoon, dengan alasan agar semua telah tersedia. Mulai dari penjemputan saat kedatangan di Bandara, penginapan, tour guide, sampai pada kepulangan.
Tetapi rasanya tak seru menikmati keindahan dari balik kaca mobil. Apalagi ada 'orang lain' di dalamnya. Pastilah ada rasa segan. Lalu muncul pertanyaan, adakah paket minus tour guide dan rute perjalanan?
Canggihnya teknologi zaman sekarang mempertemukan kami dengan seorang penyedia paket perjalanan yang ramah. Kami bernegoisasi secara online lewat ponsel. Setelah negoisasi, ternyata bisa ambil paket penginapan saja, dan untuk tour-nya kita jalan sendiri. Kebetulan suami punya pengalaman berkeliling Bali dengan teman kuliahnya dulu. Dan dari pengalamannyalah kami memutuskan merental sepeda motor. Yang paling asyik, motornya bisa diambil dan dikembalikan di Bandara. Jadi tak butuh mengeluarkan ongkos taksi dari Bandara menuju hotel atau sebaliknya 'kan?
Berkeliling di Bali akan lebih seru dengan motor. Dan untuk rental motor per hari, cukup membayar 60 ribu rupiah. Pemiliknya juga tak bertele-tele. Cukup dengan syarat meninggalkan KTP, dan di awal menaiki motor, pelanggan difoto. Mudah dan murah, bukan?
Petualangan pun dimulai.
Pengalaman pertama yang berkesan bagi saya adalah keramahan pihak hotel dan wewangian yang alami. Tampaknya mereka sudah mengerti bagaimana membuat para tamu jatuh hati. Saat menunggu kamar dipersiapkan, minuman 'selamat datang' disuguhkan. Ketika pada akhirnya kami masuk ke kamar, dan...
Jrenggg...
Bunga-bunga yang bertaburan, kue honeymoon, dan handuk yang dibentuk bebek menyatu menyerupai hati, menyambut kami. Spechless. Saya bahkan sampai lupa agenda kami malam itu : menikmati suasana malam di sekitar jalan raya Legian.
Jadilah kami menikmati wewangian di kamar hotel di sisa hari. Hitung-hitung relaksasi untuk mengumpulkan tenaga untuk melakukan perjalan keesokan harinya. Lagipula, sehabis candle light dinner -- yang merupakan bagian dari paket, kami kekenyangan. Â
Di daftar tempat yang kami kunjungi, pantai Kuta adalah perhentian terakhir kami. Selain karena dekat dengan hotel dan tak terlalu jauh dari Bandara -- dibanding tempat lainnya di daftar, kami tidak ingin buru-buru menikmati setiap kunjungan. Tetapi saya tidak sabar mengunjungi pantai yang keindahannya telah tersebar ke seluruh dunia. Kami pun memutuskan untuk melihatnya.
Suami memahami perasaan saya -- yang sebelumnya memang mendambakan Bali. Ia biarkan diriku menikmati keindahan dalam diam. Udara sejuk di pagi hari itu memang seolah menghipnotis untuk tetap menarik nafas sebanyak-banyaknya sambil memejamkan mata. Angin yang berhembus lembut, menyapu lelah di wajah. Relaksasi yang sempurna!
Sebelum matahari tepat di atas kepala, kami menuju Pantai Canggu. Pantai ini belum banyak dibahas orang. Dan kami memang sengaja mencari pantai yang tak terlalu ramai -- dibandingkan Kuta yang dipenuhi para peselancar.
Kami menghabiskan waktu seharian di pantai ini. Berjemur, bermain pasir, dan tentunya berfoto ria. Saya dan suami sepakat untuk tidak buru-buru menambah daftar tempat wisata yang telah dikunjungi. Kami pun menikmati desiran ombak dari atas sofa bean bag. Tak kalah seru, kami berbaring di pasir ketika tubuh lelah dan tenggorokan membutuhkan air kelapa muda.
Saat senja akan tiba, kami menuju Kuta.
Satu hal yang menarik dalam liburan ini adalah kemudahan memenuhi kebutuhan. Mulai dari makanan halal, tempat ibadah, keperluan berwisata (sun block, kacamata hitam, dan lain-lain) sampai tempat istirahat sejenak di pinggir jalan.
Di hari berikutnya, kami relaksasi di Bukit Campuhan. Kenapa tracking ini juga saya sebut sebagai relaksasi? Karena jauh dari kebisingan suara kenderaan, dan udara sejuk sepanjang jalur.
Jalan menuju ke tempat ini relatif sepi, tetapi tak menyeramkan atau menegangkan. Aura keramahan masyarakat begitu terasa. Tak ada preman yang meminta pungutan liar, bahkan orang lokal dengan ramah menunjuk jalan, bila kita ragu pada aplikasi penunjuk arah.
Di sepanjang jalur, kita akan bertemu dengan petani lokal dan turis internasional. Berbagai macam tingkah atau cara mereka menikmati wisata ini, menjadi sesuatu yang menarik untuk diamati di sela-sela menikmati pemandangan alami.
Setelah tracking kurang lebih tiga jam (sudah termasuk berfoto ria dan duduk santai di bawah pepohonan), kami beristirahat di lesehan tak jauh dari tempat parkir. Kami sengaja memilih tempat itu agar bisa membaringkan tubuh. Minuman segar dan makanan ringan menjadi pilihan mengusir dahaga.
Bukit Campuhan ini rekomendasi teman suami. Kami memang sengaja memilih tempat wisata pedesaan di hari kedua liburan. Alasan sederhananya, agar wisatanya tak melulu soal pantai. Bali memang lengkap bila bicara tentang wisata : pantai, tempat bersejarah, Pura, wahana permainan air, suasana pedesaan, dan banyak lagi.
Sepulang dari Bukit Campuhan, kami singgah di Pasar Seni Ubud. Di sini kita bisa membeli berbagai hasil kerajinan tangan. Sebut saja batik, tas dari rotan yang dirajut, topeng, topi pantai, patung, ukiran, dan banyak lagi. Suami tertarik membeli miniatur sepeda. Katanya ada alasan filosofisnya : agar tak terjatuh, kita harus terus mengayuh.
Dari Pasar Seni, kami menyempatkan menikmati Kuta di sore hari. Tak ada rasa bosan mengunjungi pantai ini. Apalagi di sekitarnya semua lengkap. Mulai dari minuman ringan, jajanan pinggir jalan, hingga makanan cepat saji ala orang barat.
Di hari ketiga, dan sebagai puncak liburan ke Bali, kami memilih ke Pura Tanah Lot. Agar tidak ketinggalan keindahan matahari terbenam dan buru-buru di perjalanan, kami memulai berkendara sejak pagi hari.
Kecepatan untuk berburu sunset? Tidak! Kita bisa menghabiskan waktu dengan berburu oleh-oleh di sekitaran pintu masuk. Bahkan waktu tak terasa untuk memilah barang apa saja yang hendak dibeli -- soalnya hampir semua barang bagus dan unik dengan harga yang terjangkau.
Kita juga tak sulit mencari makanan di sekitar tempat wisata ini. Banyak pilihan, dan pastinya halal, juga dengan harga yang relatif murah untuk ukuran tempat wisata pada umumnya.
Sampailah pada puncaknya. Air laut yang surut, memungkinkan kami untuk turun sampai ke bibir laut. Sebelum mentari meninggalkan siang, semua pengunjung sudah siap-siap mengabadikan momen yang paling indah. Para fotografer profesional telah berbaris rapi di sebuah sudut yang rapat ke tebing. Pengunjung yang lain, tumpah ruah di atas karang -- yang untuk sementara ditinggalkan air.
Siluet, sunset, dan air laut yang beranjak pasang, menjadi 'oleh-oleh' termanis dari Pura Tanah Lot. Sepulang dari Pura Tanah Lot, kami menikmati bagian dari paket yang terakhir : spa khas Bali. Sengaja diambil di malam terakhir, supaya saat pulang, tubuh kembali bugar.
Paket liburan 5 hari 4 malam terasa tak cukup untuk menikmati Bali dengan segala keindahannya. Tetapi juga tak mengecewakan.
Bali, kami pasti kembali!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H