Manusia lahir ke dunia tanpa melekat apa-apa pada dirinya.
Orok, janin, entah apa namanya,
Tak bisa meminta pada Tuhan,
Pada sidang tertutup atau terbuka,
Tanpa voting, tanpa suara,
Dari rahim siapa dia akan dilahirkan.
Dari ayah dan ibu yang tak henti berdoa siang malam,
Demi kehadirannya ke dunia,
Atau dari ibu yang bahkan tak tahu siapa,
Laki-laki yang telah meninggalkan bibit kehidupan,
Yang menghadiahinya gelar anak haram,
Padahal mereka lah orangtua haram.
Pun manusia tak bisa meminta,
Terlahir dari keluarga berada atau papa,
Dari kalangan terhormat atau hina,
Dengan fisik menawan atau serba kekurangan,
Dilahirkan di klinik bersalin ternama,
Atau hanya di atas dipan buruk rupa.
Manusia lahir tanpa dibekali sandang,
Yang menghangatkan badannya yang telanjang,
Hanya kemampuan pangan selama hitungan jam,
Sebelum mendapatkan makanan dari ibunya.
Iya, karena semua adalah hak tunggal Tuhan Sang Maha Pencipta.
Tuhan? Tuhan yang mana? Tuhan siapa?
Mereka bilang yang menciptakanku adalah Tuhan,
Lalu mereka juga bilang yang menciptakan dia adalah Tuhan,
Dan kau juga diciptakan oleh Tuhan.
Lalu, mengapa cara manusia menyembah Tuhan bisa berbeda?
Apakah Tuhan lebih dari satu?
Tidak.
Sesungguhnya Tuhan adalah tunggal, satu-satunya pencipta manusia.
Yang membedakannya adalah keyakinan.
Ketika manusia lahir dan membuka mata untuk kali pertama,
Ia mendapatkan segalanya,
Orangtua, keluarga, sandang, pangan, papan bahkan keyakinan.
Keyakinan?
Iya, keyakinan. Sesuatu yang paling hakiki,
Sesuatu yang diwarisi,
Bahkan menjadi doktrin.
Kau pernah mendengar seorang bayi yang baru lahir diazankan di telinganya?
Kau pernah melihat seorang bayi yang dibaptis di gereja?
Ketika lahir manusia bahkan tak bisa memilih akan diazankan atau dibaptis atau entah apalagi namanya.
Ketika manusia beranjak dewasa,
Perlahan ia mempelajari keyakinannya,
Secara formal maupun informal,
Dari bangku sekolah dasar hingga bangku kuliah,
Bahkan tanpa batasan usia,
Yang kemudian dia kenal bernama agama.
Lalu, ada yang salah?
Tidak. Karena kau dilahirkan dengan agama itu pun sudah bagus.
Karena agama adalah nikmat.
Lantas?
Hmm... Kau mau menjawab jujur?
Apakah kau menganggap agamamu lah yang terbaik di muka bumi?
Pasti kau akan menjawab iya.
Baiklah.
Apa jawaban itu didasari dengan pembelajaran secara mendalam tentang agamamu?
Tentu saja.
Oke, selain agama yang kau pegang sekarang, apakah kau juga mempelajari agama lain?
Bisa iya, bisa tidak.
Salut bila kau menjawab iya.
Keyakinanmu bukan sekedar warisan keluarga,
Namun kau mendapatkannya karena pembelajaran.
Dan, bagaimana dengan mereka yang mengaku agamanya paling hebat,
Padahal mereka tak pernah mempelajari agama mereka sendiri,
Apalagi agama-agama lain?
Mereka adalah tong kosong!
Berlagak sempurna, padahal diri sendiri jauh dari sempurna.
Lalu?
Diamlah.
Iya, cukup tak memberikan komentar apa-apa,
Pada siapapun.
Tak perlu mengaku agamamu sendiri paling baik,
Tak perlu menuduh agama orang lain paling buruk,
Tak perlu menghujat,
Apalagi saling berbunuh,
Karena perbedaan keyakinan.
Cukup sempurnakan diri sendiri,
Sebelum menyempurnakan oranglain.
Cukup berbuat yang terbaik bagi diri sendiri,
Tanpa mencari keburukan oranglain.
Cukup urusi urusan sendiri!
Karena...
Aku tak menyembah Tuhan yang kau sembah,
Kau pun tak menyembah Tuhan yang aku sembah,
Untukmu agamamu,
Untukku agamaku.
Salam perdamaian untuk seluruh umat beragama di muka bumi...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H