Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Menyusuri Jejak Kejayaan Tukang Kayu di Kawasan Kota Tua

25 Januari 2025   10:00 Diperbarui: 25 Januari 2025   20:08 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selalu ada yang menarik dari kawasan Kota Tua Jakarta. Memang kawasan ini sarat dengan sejarah, terutama pada masa penjajahan Belanda. Di sini merupakan pusat kota Batavia. Sebenarnya Batavia adalah kota berbentuk benteng yang didirikan oleh VOC yang bagian pinggirnya diberi pembatas. Lokasinya adalah di Kota Tua, maka sekarang ada istilah di dalam benteng dan di luar benteng. 

Kali ini saya tertarik untuk mengulik tentang furniture antik peninggalan masa berkuasanya VOC selama 1602-1799.  Menurut catatan sejarah, VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) adalah perusahaan Hindia Timur yang didirikan Belanda untuk menjaga perdagangan Belanda di Indonesia. VOC menguasai perdagangan rempah-rempah di Hindia Timur hingga  membangun pos-pos dagang di Asia - Afrika. 

Ternyata ada sentra produksi kerajinan kayu di Kota Tua. Di tempat inilah pembuatan furniture yang digunakan orang-orang Belanda untuk mengisi gedung perkantoran dan rumah-rumah mereka. 

Kartum Setiawan (dok.pri)
Kartum Setiawan (dok.pri)

Karena itu saya tertarik dengan ajakan seorang sahabat untuk mengulik area tersebut. Kami bergabung dengan Komunitas Jelajah Budaya yang dipimpin oleh Kartum Setiawan, seorang budayawan yang sudah sering menjadi narasumber di berbagai media.

Jalan Pinangsia Raya 

Kami berkumpul di depan stasiun Jakarta Kota, atau juga di sebut Beos. Kebetulan hujan masih rintik-rintik, kami menunggu di teras yang menghadap taman air mancur dan museum Bank Mandiri. 

Setelah semua anggota hadir lengkap dan hujan berhenti, kami pun mulai bergerak ke arah kiri stasiun. Kami menyeberang jalan raya yang dahulunya merupakan sungai. Kemudian kami masuk jalan Pinangsia Raya.  Jalan ini beberapa kali mengalami perubahan nama. Zaman VOC sempat bernama Nieuwe Steenweg atau jalan Batu Baru, tapi disebut juga Pinangsia Weg. 

Menyusuri jalan Pinangsia Raya (dok.pri)
Menyusuri jalan Pinangsia Raya (dok.pri)

Menurut keterangan Mas Kartum, di sepanjang jalan inilah sentra kerajinan kayu yang memproduksi furniture atau perabotan. Sejak abad 17, kawasan ini penuh dengan tukang kayu yang rata-rata merupakan warga keturunan Tionghoa. 

Permintaan perabotan kayu sangat tinggi dari pemerintahan pendudukan Belanda. Mereka mengisi rumah-rumah dan kantor dengan perabotan berkualitas sehingga tukang kayu antusias memproduksi sebanyak-banyaknya. Perdagangan perabot menjadi salah satu kemakmuran bagi warga keturunan Tionghoa. 

Bahan-bahan kayu yang dibutuhkan, didatangkan dari pedalaman. Pada zaman itu, yang dimaksud pedalaman misalnya adalah Tanah Abang. Waktu itu Tanah Abang masih berupa kampung yang dikelilingi hutan dan perkebunan. 

Orang-orang Belanda, banyak membeli perabotan kayu di Pinangsia Raya ini. Bukan hanya untuk kebutuhan mereka di Batavia, tetapi juga ada yang dibawa ke negeri Belanda, dikirim dengan menggunakan kapal VOC. 

Perlu diketahui, dari museum Fatahilah yang menjadi kantor VOC, dahulu kala dapat melihat laut karena belum banyak bangunan. Perjalanan langsung ke dermaga dengan kereta kuda. Hal ini bisa dilihat juga jejak peninggalan kapal dagang VOC di museum Bahari. 

Vihara Lupan (dok.pri)
Vihara Lupan (dok.pri)

Karena masa itu adalah masa kejayaan Tukang Kayu, maka profesi tukang kayu dianggap cukup terhormat. Maka sebagai penghormatan, dibangun sebuah Vihara untuk mempermudah tukang kayu beribadah dan mensyukuri berkat pemberian dewa-dewi. Vihara itu bernama Vihara Lupan di Jalan Pinangsia satu, bersebelahan dengan sekolah Suci Hati. Saya akan membahas tentang Vihara ini pada tulisan berikutnya.

Namun sekarang kami melihat di kawasan Pinangsia  ini tidak lagi didominasi oleh tukang kayu, hanya tinggal beberapa saja yang masih bertahan. Toko-toko lainnya telah beralih fungsi menjual bahan-bahan lain. Kita masih bisa berburu perabotan antik di toko-toko yang tersisa.

Gapura Pecinan Glodok (dok.pri)
Gapura Pecinan Glodok (dok.pri)

Glodok 

Perjalanan dilanjutkan ke kawasan Glodok. Mal Glodok yang ada di pinggir jalan, dahulu merupakan taman terbuka. Di taman tersebut sering diadakan pasar malam yang didatangi masyarakat sekitarnya. Di sampingnya adalah gapura pertanda bahwa Glodok adalah kawasan Pecinan di Jakarta. 

Saya di depan Pantjoran Tea House (dok.pri)
Saya di depan Pantjoran Tea House (dok.pri)

Tetapi kami tidak menyusuri pasar Glodok, karena sudah sering dilakukan beberapa tahun lalu. Kami mampir di depan kedai Pantjoran Tea House, di sudut jalan Glodok dan Pintu Besar Selatan. Sebagai ciri khas, ada delapan teko teh di atas meja, di depan kedai ini. Rupanya kedai teh ini masih menggunakan furniture antik peninggalan zaman Belanda. 

Ada yang menarik di dinding kedai Pantjoran Tea House. Pada dinding kaca di sebelah luar, terdapat gambar-gambar atau foto yang menggambarkan suasana Glodok di zaman Belanda. Bahkan juga menunjukkan furniture yang diproduksi tukang kayu pada masa itu.

Toko furniture yang tersisa (dok.pri)
Toko furniture yang tersisa (dok.pri)

Di jalan Pintu Besar Selatan masih ada toko perabotan kayu yang bertahan. Toko ini sempit dan memanjang ke dalam, sesuai dengan bentuk bangunan pada masa itu. Lantai di dalam lebih rendah dari jalan. Memang jalan Pintu Besar Selatan mengalami peninggian akibat sering banjir di musim hujan. 

Pemiliknya mengatakan bahwa ia merupakan generasi ketiga yang mewarisi toko ini. Nenek moyangnya berasal dari suatu daerah di Cina yang kemudian mengadu nasib berdagang di Batavia. Di dalam toko ini terdapat beberapa perabotan antik. Sedangkan perabotan baru yang dijual, diletakkan di depan toko berupa kursi-kursi kayu. 

Museum Fatahilah 

Nah, destinasi terakhir adalah museum Fatahilah. Rupanya di sini sedang ada pameran "Furniture Bertutur" yang mengisahkan tentang produk furniture di masa pendudukan Belanda. Ada beberapa model kursi antik, meja dan ranjang bayi.

Kursi Raden Saleh dan Dewan Hindia (dok.pri)
Kursi Raden Saleh dan Dewan Hindia (dok.pri)

Bahkan kita akan menemukan sebuah kursi kayu yang digunakan pelukis terkenal Raden Saleh. Gambar yang menunjukkan Raden Saleh duduk di kursi kayu, rasanya pernah saya lihat di perpustakaan Bogor. 

Kursi Pesisir (dok.pri)
Kursi Pesisir (dok.pri)
Selain itu ada juga kursi yang digunakan oleh Gubernur Jenderal Raffles. Beberapa model kursi beranda, kursi tamu, kursi yang biasa ada di wilayah pesisir dan sebagainya. Semua tampak unik dan estetik. Jelas barang antik begini tak ternilai harganya. 

Buat teman-teman yang ingin tahu tentang sejarah furniture di kawasan kota tua, silakan datang ke pameran ini. Mumpung pameran masih berlangsung cukup lama. Banyak pengunjung yang datang, termasuk wisatawan mancanegara. 

Saya bersama KJB (dok.kjb)
Saya bersama KJB (dok.kjb)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun