Permintaan perabotan kayu sangat tinggi dari pemerintahan pendudukan Belanda. Mereka mengisi rumah-rumah dan kantor dengan perabotan berkualitas sehingga tukang kayu antusias memproduksi sebanyak-banyaknya. Perdagangan perabot menjadi salah satu kemakmuran bagi warga keturunan Tionghoa.Â
Bahan-bahan kayu yang dibutuhkan, didatangkan dari pedalaman. Pada zaman itu, yang dimaksud pedalaman misalnya adalah Tanah Abang. Waktu itu Tanah Abang masih berupa kampung yang dikelilingi hutan dan perkebunan.Â
Orang-orang Belanda, banyak membeli perabotan kayu di Pinangsia Raya ini. Bukan hanya untuk kebutuhan mereka di Batavia, tetapi juga ada yang dibawa ke negeri Belanda, dikirim dengan menggunakan kapal VOC.Â
Perlu diketahui, dari museum Fatahilah yang menjadi kantor VOC, dahulu kala dapat melihat laut karena belum banyak bangunan. Perjalanan langsung ke dermaga dengan kereta kuda. Hal ini bisa dilihat juga jejak peninggalan kapal dagang VOC di museum Bahari.Â
Karena masa itu adalah masa kejayaan Tukang Kayu, maka profesi tukang kayu dianggap cukup terhormat. Maka sebagai penghormatan, dibangun sebuah Vihara untuk mempermudah tukang kayu beribadah dan mensyukuri berkat pemberian dewa-dewi. Vihara itu bernama Vihara Lupan di Jalan Pinangsia satu, bersebelahan dengan sekolah Suci Hati. Saya akan membahas tentang Vihara ini pada tulisan berikutnya.
Namun sekarang kami melihat di kawasan Pinangsia  ini tidak lagi didominasi oleh tukang kayu, hanya tinggal beberapa saja yang masih bertahan. Toko-toko lainnya telah beralih fungsi menjual bahan-bahan lain. Kita masih bisa berburu perabotan antik di toko-toko yang tersisa.
GlodokÂ
Perjalanan dilanjutkan ke kawasan Glodok. Mal Glodok yang ada di pinggir jalan, dahulu merupakan taman terbuka. Di taman tersebut sering diadakan pasar malam yang didatangi masyarakat sekitarnya. Di sampingnya adalah gapura pertanda bahwa Glodok adalah kawasan Pecinan di Jakarta.Â