Sejak puluhan tahun lalu, saya penasaran dengan landasan udara Atang Senjaya di Bogor ini. Saya kerap lewat di jalan raya Semplak, dan melihat sebuah helikopter tua di depan gerbang. Tapi bayangan saya, landasan udara ini mirip dengan landasan udara lainnya, luas dan megah.
Nah, akhirnya rasa penasaran itu terjawab ketika mengikuti event komunitas Kompasianer Air yang mengadakan kunjungan ke Lanud Atang Senjaya. Sewaktu bulan Desember, saya sudah ikut serta ke Lanud Halim Perdanakusuma. Ini kesempatan kedua melihat basis Angkatan Udara Republik Indonesia.Â
Saya satu rombongan dengan admin Kompasianer Air, Pak Taufik Uieks dan Dewi Puspa. Tiga orang langsung ke lokasi, mas Rahab, mbak Denik dan teman dari Tangerang. Kami bertemu di pos penjagaan depan, menyerahkan KTP dan dijemput oleh staf. Selalu tuan rumah adalah Pak Edy dari Lanud Atang Senjaya.Â
Ternyata Lanud Atang Senjaya dikhususkan untuk armada helikopter. Jadi tidak diperlukan landasan pacu yang panjang dan luas. Jelas ada helipad, yang tidak membutuhkan lahan besar. Meskipun demikian, ada satu menara kontrol di salah satu sudut area.Â
Di kawasan Lanud Atang Senjaya ini ada tiga satuan udara. Skadron 6 dan 8 serta Satuan Udara Pencarian dan Pertolongan (SATUDPP). Pertama kami dibawa ke Satuan Udara Pencarian dan Pertolongan. Rupanya ini adalah hanggar tempat menyimpan helikopter operasional Basarnas.
Helikopter Basarnas
Di depan pintu masuk, ada beberapa mobil Basarnas yang diparkir. Lalu kami masuk ke dalam hanggar. Satu helikopter terbesar langsung tertangkap oleh mata. Helikopter ini khusus untuk VIP misalnya pejabat tinggi Basarnas yang sedang meninjau lokasi bencana.Â
Ada tim yang juga memandu kami di tempat ini selain Pak Edy. Antara lain, mas Hardhi, Mas Reno yang juga penerbang (pilot) dan La Ode, seorang teknisi pesawat, khususnya merawat helikopter Basarnas.Â
Sebetulnya, ada sepuluh penerbang yang bertugas mengoperasikan helikopter Basarnas. Tetapi yang kali ini hadir ada dua orang yaitu Reno dan Dimas yang menyusul belakangan.
Helikopter jenis AW Â 139 ini termasuk jenis baru pabrikan Italia, baru datang pada tahun 2020 yang lalu. Kapasitas angkut 15 orang, dengan dua awak. Tentu saja juga dilengkapi dengan Hoist permanen untuk membantu mengangkat korban bencana. Namun jika diperlukan, kursi-kursi penumpang bisa dilepaskan agar lebih fleksibel mengangkut korban.Â
Helikopter tersebut bisa bertahan selama enam jam dengan kecepatan 300 km perjam. Kalau bertugas ke tempat yang jauh, misalnya sewaktu penyelenggaraan balap MotoGP di sirkuit Mandalika, maka harus singgah di salah satu landasan udara untuk mengisi bahan bakar serta cek mesin.Â
Di samping helikopter besar tersebut ada dua helikopter ukuran sedang, yaitu Dauphine  AS369 N3+ yang mempunyai moncong seperti mulut lumba-lumba. Helikopter jenis ini merupakan keluaran pabrik Airbus di Perancis. Diproduksi sekitar tahun 2015. Masih terhitung armada baru. Dua helikopter ini terlihat unyu-unyu. Tapi jangan meragukan kemampuan menjelajah daerah bencana.Â
Terletak paling pojok adalah helikopter paling mungil, buatan PT Dirgantara Indonesia. Helikopter NBO 105, yang serupa rancangan Jerman, Helikopter Bolkow 105, dibuat sekitar tahun 1980-an. Saat itu nama PT Dirgantara Indonesia masih IPTN (zaman Orde Baru). Karena mungil, kapasitas hanya 4 orang, termasuk kru pesawat. Â
Helikopter ini memang bandel, sehingga masih bertahan dan berfungsi hingga sekarang. Dengan panjang 12 meter dan tinggi tiga meter, NBO 105 adalah helikopter yang lincah dan gesit. Dia mampu dibawa berakrobat di udara.Â
Armada Helikopter Basarnas selalu disiagakan ketika terjadi bencana alam. Misalnya ketika bencana alam di Cianjur tahun lalu. Selain itu juga bersiaga pada event besar seperti balap MotoGP di sirkuit Mandalika. Ketika ada pembalap yang mengalami kecelakaan, langsung dibawa dengan helikopter Basarnas. Momen lain adalah kesiagaan pada liburan Nataru, karena macet yang luar biasa di tol Merak, sering ada orang yang kolaps, butuh pertolongan segera.Â
Skadron 6
Beberapa meter dari hanggar SATUDPP Basarnas, terdapat hanggar Skadron 6. Namun hanggar ini terlarang untuk dimasuki, maka kami diarahkan melihat helikopter tertua yang ada di tempat terbuka. Boleh dikatakan helikopter ini merupakan heritage karena sudah "sepuh".Â
Helikopter Twin Pack Sikorsky S58T Â keluaran tahun 1958. Helikopter ini adalah hadiah dari Presiden Amerika Serikat saat itu, John F. Kennedy kepada Presiden pertama RI, Soekarno pada tahun 1961. Nah, tua banget kan, usianya si Mbah helikopter.Â
Di dalamnya cukup luas tanpa kursi, maklum untuk mengangkut pasukan. Di dinding si "Mbah" terdapat keterangan sejarah mengenai operasional yang selama ini dilakukan. Si "Mbah" bertugas cukup lama, baru pensiun tahun 2009. Terbayang kan, betapa tangguhnya helikopter ini.Â
Ada tiga penerbang, dua dari Skadron 6 dan satu dari Skadron 8 yang menemani kami. Mereka masih muda, baru beberapa tahun bertugas di Lanud Atang Senjaya. Bahkan ada yang datang sewaktu masa pandemi Covid 19. Dalam usia muda, mereka sudah menjadi pilot helikopter andalan TNI AU.Â
Helikopter yang ada di Skadron 6 lainnya, yang berada di Hanggar adalah jenis NAS 332 Superpuma. Sayangnya, karena ini merupakan alutsista yang tak boleh sembarangan dilihat umum, kamu tidak bisa mengintipnya.Â
Oh ya, sekedar info, Skadron 7 ada di Subang. Skadron ini khusus untuk perawatan helikopter TNI AU. Jadi, sangat tertutup, tidak bisa dikunjungi masyarakat umum.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H