Beragam komentar terlontar dari netizen terkait berita viral tentang harga pecel lelen yang tidak wajar di kawasan Malioboro, Jogjakarta. Terungkap bahwa banyak wisatawan yang telah mengalami hal itu.
Kota yang saya cintai ini adalah tujuan wisata kedua di Indonesia setelah Bali. Tak heran segala sesuatu mengenai Jogjakarta menjadi bahan perbincangan. Dari berbagai jenis kuliner hingga tempat wisata favorit.
Malioboro merupakan kawasan utama yang dianggap salah satu ikon Jogjakarta. Menyusuri jalan Malioboro saja sudah ada sensasi tersendiri, apalagi jika duduk-duduk sambil menikmati suasana.Â
Sepanjang jalan Malioboro dipenuhi pedagang souvernir dan penjaja makanan. Kita tinggal pilih yang sesuai harga dan selera. Â Biasanya yang paling banyak dicari adalah yang memiliki ciri khas tradisional.
Harga "nuthuk"
Harga tak wajar untuk makanan terjadi ketika ada pedagang nakal yang memanfaatkan musim liburan untuk "memeras" wisatawan yang datang dari kota lain. Mereka menggunakan aji mumpung untuk meraup keuntungan tanpa peduli akibat setelahnya.
Saya juga dulu pernah mengalami hal itu puluhan tahun lalu. Padahal saya asli orang Jogja, sedang berkumpul bersama keluarga. Kebetulan Om saya yang cukup berada, mentaktir kami ketika iseng ke Malioboro.
Kami duduk di lesehan, ada memesan burung dara goreng, ada nasi gudeg dan sebagainya. Sesudah selesai makan, pedagang tersebut menyodorkan bon yang fantastis.
Kami kaget dan tak percaya. Berhubung tidak mau ribut, akhirnya dibayar juga karena sudah terlanjur makan. Sejak itu kami selalu menanyakan daftar harga kalau mau makan di sana.
Kemudian Pemkot Jogja melakukan penertiban agar pedagang tidak "nuthuk" harga. Saya merasakan perubahan drastis, rerata pedagang mencantumkan harga untuk setiap makanan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, saya makan di kawasan Malioboro dengan harga terjangkau.
Maka saya mengerenyitkan kening ketika ada berita viral tentang harga tak wajar dari sebuah warung pecel lele. Ini tentu luput dari pengawasan Pemkot. Lalu menyimak pengalaman sama dari beberapa wisatawan, berarti kawasan Malioboro mulai tak terkendali (lagi).
Perlu diketahui, kebanyakan pedagang di kawasan Malioboro justru pendatang dari daerah lain. Mereka mengais rezeki di Jogja yang selalu dipenuhi wisatawan. Jangan heran jika ada orang Batak berjualan souvernir dan fasih berbahasa Jawa.
Jadi mereka tidak cukup memiliki sifat orang Jogja yang murah hati. Orang asli Jogja, hampir mustahil memberikan harga tinggi. Mereka hanya mengambil keuntungan seadanya, tidak aji mumpung.
Nasi gudeg di depan pasar Beringharjo tetap 15 ribu dengan telur. Sate asongan juga tetap murah. Lumpia enak di depan hotel Mutiara juga harganya murah. Bahkan kedai kopi yang sering saya masuki tak berubah.
Asosiasi pedagang Malioboro sudah campur aduk, anggota terdiri dari orang Jogja asli dan juga pendatang. Karena itu perlu diberikan edukasi oleh Pemkot terkait adab orang Jogja.Â
Karena asosiasi itu mempunyai fungsi strategis mengayomi dan memberdayakan pedagang, maka mereka wajib mendapatkan pembinaan. Wawasan tentang kepariwisataan sebaiknya menjadi dasar pengetahuan mereka. Inilah yang seharusnya langsung digarap oleh Pemkot Jogja.
Sementara kawasan di luar Malioboro masih relatif aman dari permainan harga. Kecuali kafe-kafe modern, yang menerapkan harga standar hampir sama dengan kota besar lainnya.
Pemda Jogja sebetulnya paling bagus dalam menata kawasan wisata dibandingkan daerah lain. Meski masih saja ada hal yang luput dari perhatian.
"Nuthuk" harga paling parah justru ditemukan di kawasan wisata pantai Anyer. Baik soal parkir hingga makanan yang bisa mencapai jutaan, membuat turis sakit jantung mendadak.Â
Bagaimana pun, kita yang senang jalan-jalan tetaplah harus berhati-hati. Biasakan untuk menanyakan harga ketika di setiap kawasan wisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H