Jadi mereka tidak cukup memiliki sifat orang Jogja yang murah hati. Orang asli Jogja, hampir mustahil memberikan harga tinggi. Mereka hanya mengambil keuntungan seadanya, tidak aji mumpung.
Nasi gudeg di depan pasar Beringharjo tetap 15 ribu dengan telur. Sate asongan juga tetap murah. Lumpia enak di depan hotel Mutiara juga harganya murah. Bahkan kedai kopi yang sering saya masuki tak berubah.
Asosiasi pedagang Malioboro sudah campur aduk, anggota terdiri dari orang Jogja asli dan juga pendatang. Karena itu perlu diberikan edukasi oleh Pemkot terkait adab orang Jogja.Â
Karena asosiasi itu mempunyai fungsi strategis mengayomi dan memberdayakan pedagang, maka mereka wajib mendapatkan pembinaan. Wawasan tentang kepariwisataan sebaiknya menjadi dasar pengetahuan mereka. Inilah yang seharusnya langsung digarap oleh Pemkot Jogja.
Sementara kawasan di luar Malioboro masih relatif aman dari permainan harga. Kecuali kafe-kafe modern, yang menerapkan harga standar hampir sama dengan kota besar lainnya.
Pemda Jogja sebetulnya paling bagus dalam menata kawasan wisata dibandingkan daerah lain. Meski masih saja ada hal yang luput dari perhatian.
"Nuthuk" harga paling parah justru ditemukan di kawasan wisata pantai Anyer. Baik soal parkir hingga makanan yang bisa mencapai jutaan, membuat turis sakit jantung mendadak.Â
Bagaimana pun, kita yang senang jalan-jalan tetaplah harus berhati-hati. Biasakan untuk menanyakan harga ketika di setiap kawasan wisata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H