Hingga suatu ketika istrinya meminta kepada Nabi Ayub agar berdoa kepada Allah untuk meringankan penderitaan. Nabi Ayub justru marah karena ia malu kepada Allah. Nabi Ayub merasa tak patut meminta karena ia menikmati rahmat Allah lebih lama dari 18 tahun.
Suatu waktu, sang istri melakukan sesuatu yang tidak disukai Nabi Ayub sehingga ia diminta pergi. Tinggallah Nabi Ayub sendirian tanpa ditemani seorang pun. Lalu ia berdoa ketika Allah dengan bahasa yang sangat halus.
"Wahai Tuhanku, sungguh aku telah ditimpa penyakit. Padahal Engkau Tuhan yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang."
Allah mengabulkan doa hambanya. "Hentakkanlah kakimu. Inilah air yang sejuk untuk mandi dan minum". (QS. Shad, 42)
Kemudian Nabi Ayub melakukan apa yang diperintahkan. Dari bekas hentakan kaki memancar air. Nabi Ayub pun minum dan mandi.Â
Seketika penyakit di tubuh Nabi Ayub hilang. Tubuhnya kembali sehat dan kuat, bahkan tampak lebih muda. Sang istri yang datang untuk menengok nyaris tidak mengenalinya. Ia baru yakin setelah Nabi Ayub berkata-kata.
Tidak hanya itu, Allah juga mengembalikan kekayaan Nabi Ayub dan dilipatgandakan. Begitu pula dengan anak-anak Nabi Ayub.Â
Seluruh penduduk negeri akhirnya tahu bahwa Nabi Ayub telah sembuh seperti sedia kala. Bahkan lebih kaya dari sebelumnya. Mereka berbondong-bondong datang kepada nabi Ayub A.S.
"Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh dia sangat taat kepada Allah" (QS Shad 44).
Nah, jika kita baru beberapa bulan, atau katakanlah beberapa tahun saja (tidak sampai 18 tahun) sudah mengeluh, apakah kita tidak malu? Mungkin ada yang berkilah, ya dia kan Nabi, sedangkan kita bukan.
Nabi dan Rasul ada untuk memberi teladan kepada kita. Kalau bukan mengikuti Cony mereka, kepada siapa kita beriman?