Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara-suara di Sebuah Rumah Sakit

8 April 2021   21:12 Diperbarui: 8 April 2021   21:23 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah sakit (dok. solopos.com)

Rani tak menyangka akhirnya terkena virus keparat itu. Soalnya dia sudah berusaha menjaga diri, melaksanakan 5 M sebagaimana anjuran pemerintah. Tetapi pekerjaan suaminya sebagai tenaga kesehatan memang besar risikonya. 

Ketika kemarin mereka melakukan SWAB, ternyata positif mengidap Covid 19. Untunglah anak-anak masih negatif, mereka hanya diwajibkan isolasi mandiri di rumah. Sedangkan Rani dan suaminya digelandang ke rumah sakit khusus di pinggir kota.

Rumah sakit itu sangat luas, tapi hampir semuanya dipenuhi pasien. Penyebaran virus Corona begitu masif, korban yang berjatuhan semakin banyak. Rani berdoa agar mereka berdua bisa bertahan, kasihan anak-anak jika ditinggalkan.

Rani  mendapat kamar di ruang 313, lantai  tiga. Sedangkan suaminya justru berada di lantai yang berbeda. Tak apalah, yang penting mereka sama-sama berusaha untuk sehat kembali agar bisa berkumpul bersama keluarga.

Di lantai yang sama, semua pasien adalah perempuan. Karena itu mereka merasa lebih klop, senang menceritakan keluarga masing-masing. Usianya beragam, kebanyakan sudah dewasa, malah ada beberapa orang yang berusia lebih dari 50 tahun. 

Sejak Rani masuk, mereka begitu ramah. Rani pun memperkenalkan diri kepada teman-teman senasib. Rani merasa lebih rileks, kecemasan berkurang melihat dia tidak sendiri menjadi penderita Covid 19.

Menjelang makan malam, dua wanita yang paling tua mendekati Rani. Salah satunya, Bu Kanjeng, sebagian besar rambutnya berwarna putih. Sementara Bu Malih, masih berambut hitam tetapi tubuhnya sangat kurus.

"Jeng Rani," bisik Bu Kanjeng. "Hati-hati nanti malam."

Rani terkejut, "Memang kenapa, Bu?"

"Ada yang aneh di rumah sakit ini," sela Bu Malih. "Kalau malam banyak kejadian."

Kata-kata itu terngiang di telinga Rani hingga menjelang tidur. Entah mengapa ia merasa was-was. Jejangan ia terpengaruh mereka, ketakutan pada sesuatu yang belum tentu terjadi.

Walaupun begitu, tak urung Rani menyalakan semua lampu. Setelah membaca sebuah buku, ia berharap akan mengantuk dan tertidur. Kenyataannya, matanya masih saja membelalak. Ia tidak dapat tidur sama sekali. Karena iseng, Rani memutar lagu-lagu nostalgia dari YouTube melalui telepon genggam.

Pada mulanya putaran lagu terdengar normal, Rani bahkan ikut menyanyi. Tetiba suara musik berhenti, terdengar suara kerasak-kerusuk seperti kaset rusak. Rani mengerutkan keningnya. 

"Channel lagu itu mungkin rusak," kata Rani dalam hati.

Baru saja ia hendak mengganti channel, ada suara serak dan berat terdengar jelas.

"Hmm, Rani...."

Seketika Rani merinding. Ia menoleh kiri kanan, tak ada orang. Suara itu jelas berasal dari telepon genggam yang diletakkan di atas meja di samping tempat tidur.

Buru-buru Rani mematikan YouTube agar channel itu tertutup. Sejenak tak ada lagi suara, Rani menarik nafas lega. Mendadak, YouTube kembali menyala dan memperdengarkan suara berat seperti tadi.

"Hmm, Rani..."

Rani ketakutan. Dengan tangan gemetar ia meraih telepon genggam dan berusaha mematikan daya. Gadget itu akhirnya terdiam mati.

Perlahan Rani merebahkan tubuh. Ia berharap bisa tertidur. Tetapi yang terjadi, lampu kamar yang ada di tengah plafon berkedap-kedip seakan hendak mati.  Kadang cahayanya berubah temaram dan kadang menjadi sangat terang. 

Saat Rani memperhatikan lampu, tetiba telepon genggam itu terjatuh dari meja. Padahal Rani sama sekali tidak menyentuhnya. Jantung Rani berdebar keras.

"Hmm, Rani..." Suara berat itu kini terdengar di belakang telinganya. Spontan Rani terloncat. Karena tak tahan, ia berlari keluar secepatnya. Untunglah pintu dapat dibuka dengan mudah.

Akhirnya Rani menuju aula kecil, ruang berkumpul para pasien. Di sini tadi mereka saling berkenalan. Ternyata hampir semua penghuni kamar ada di ruang ini. Mereka duduk berdekatan. Ada pula yang sudah tertidur dengan berpelukan.

Bu Kanjeng melambaikan tangan, mengajak Rani duduk di sebelahnya. Temannya, Bu Malih tersenyum melihat Rani.

"Diganggu ya, jeng Rani?" Tanya Bu Kanjeng dengan suara nyaris tak terdengar.

Rani mengangguk lemah. 

"Kita semua diganggu kalau malam. Makanya lebih baik ngumpul di sini. Walaupun kadang gangguan itu juga kemari, setidaknya kita tidak sendiri," bisik Bu Kanjeng.

"Tidurlah jeng. Baca doa dulu. Kita bertiga di sofa ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun