Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kereta Terakhir

27 Maret 2021   19:55 Diperbarui: 27 Maret 2021   19:57 739
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gegara ketiduran di ruang perpustakaan kampus ITU (Universitas Teknologi Istanbul), aku terbangun dengan lesu. Teman-teman mahasiswi sudah selesai mengerjakan tugas. Buku-buku telah dirapikan dan dikembalikan. Perpustakaan ini memang nyaman untuk tidur bagiku. Maklum aku hanya menemani mereka.

Kampus sudah sepi ketika kami keluar. Hanya ada satu atau dua orang saja yang masih terlihat. Padahal kampus ini begitu luas, butuh lebih dari setengah jam berjalan kaki menuju pintu gerbang. Sambil terkantuk-kantuk, aku mengikuti langkah teman-teman yang jauh lebih muda ini.

Adzan Maghrib terdengar. Medi, teman mahasiswa yang paling tinggi mengajak salat dahulu. Kami pun setuju dan bergegas ke masjid terdekat. Satu hal yang aku sukai dari teman-teman mahasiswa Indonesia adalah mereka sangat rajin beribadah. Bahkan Medi selalu membawa sarung untuk salat.

Setelah salat, terasa perut ini keroncongan. Rupanya teman-teman yang lain juga merasa lapar. Mendadak si Danu, menghentikan langkahnya.

"Makan dulu yuk. Aku lapar."

"Sama, aku juga," sahutku.

Teman-teman yang lain setuju untuk makan di kedai terdekat dengan stasiun. Tentu saja kami mencari yang harganya paling murah, disesuaikan dengan kantong mahasiswa. Aku sih menurut saja, karena mereka lebih tahu.

Kami makan sambil ngobrol. Karena keasyikan, tahu-tahu sudah lewat satu jam dihabiskan di warung itu. Medi segera tersadar. Ia buru-buru mengajak keluar.

"Eh, ini sebentar lagi jam sepuluh malam. Yuk cepetan. Nanti kita ketinggalan kereta terakhir."

Dengan langkah panjang-panjang kami menuju stasiun kereta. Rini agak tergopoh-gopoh karena dia bertubuh paling kecil. Ia agak kewalahan mengekor di belakang kami yang berpostur tubuh lebih tinggi.

Istanbul adalah kota yang berbukit-bukit. Jalur kereta bukan berada di atas tanah, tetapi tiga tingkat di bawah tanah. Untungnya ada tangga elevator yang bisa mempermudah dan mempercepat langkah kami menuju jalur kereta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun