Akhirnya sampai juga aku di Trabzon, provinsi ini terkenal dengan keindahan lembah, bukit dan gunung. Trabzon termasuk wilayah Laut Hitam, Turki Timur. Untuk menuju ke sini, bisa menggunakan bus dari Istanbul.
Aku telah menyewa penginapan ala backpacker yang berada di kaki bukit. Beruntung wisatawan sedang tak banyak. Hanya ada sepasang kekasih yang aku yakin ingin mengambil foto mesra di puncak bukit, menghadap lembah. Foto seperti ini menjadi favorit para turis mancanegara.
Kabut turun menjelang senja. Aku menikmati udara yang secara perlahan berubah menjadi dingin. Dengan jaket tebal, aku berkeliling melihat pemandangan sekitar. Dari bawah, tampak sebuah biara menempel di tebing. Itulah biara Sumela yang telah berusia berabad-abad. Masih tampak kukuh dan anggun.
"Mau lihat ke atas sana?" Tetiba suara lembut terdengar dari belakang. Seketika aku berbalik.
Seorang biarawati, kira-kira usianya sudah sebaya, tersenyum kepadaku. Pakaiannya khas biarawati, seperti gaun panjang dengan kerudung penutup kepala bergaris putih.
"Maaf, Suster. Saya dengar biara itu tidak boleh didatangi," kataku sambil mengingat-ingat berita bahwa biara itu sedang direnovasi.
"Siapa bilang?. Kami tetap menjalankan ritual ibadah di sana," jawabnya tenang.
Terus terang aku tertarik dan penasaran dengan biara yang seakan tergantung di tebing itu. Apalagi akses ke sana sangat menantang, harus menaiki anak tangga batu yang cukup terjal.Â
Biarawati itu seperti menyihir aku untuk mengikutinya. Heran, dalam usia itu langkahnya cepat dan ringan. Aku terengah-engah kehabisan nafas. Duh, ini akibat jarang berolahraga.
Dia tersenyum memperhatikan aku yang kelelahan dari puncak tangga. Lalu masuk melalui pintu besi yang lebar dan berat. Â Aku tak mau ketinggalan, memompa tenaga agar bisa menyusulnya.
Di dalam aku memandang takjub. Di bawah tangga ada aula yang cukup luas dengan berbagai hiasan antik. Di depan ada altar megah, patung Yesus Kristus yang juga besar. Â Aku mengikuti biarawati tadi turun. Dia berjalan ke tengah aula.Â
Tak berapa lama, dari pintu yang lain masuk sekumpulan biarawati muda. Itu terlihat dari pakaian mereka yang tampak tidak sepanjang biarawati yang mengajak aku. Mereka datang dengan wajah tertunduk dan mengatupkan kedua tangan di dada.
Aku pikir, betapa khidmat dan khusyuknya mereka. Mendadak aku malu karena sering sholat tanpa khusyuk karena memikirkan urusan duniawi. Ini membuat aku introspeksi diri.
Aku tidak ingin mengganggu ibadah mereka. Biarawati tua memimpin mereka menyajikan pujian-pujian kepada Tuhannya. Suara mereka menggema ke seluruh ruangan, merasuk jiwa hingga aku merinding. Padahal aku tidak mengerti bahasa yang digunakan.
Usai puja dan puji, biarawati tua melambaikan tangan kepadaku untuk mendekat. Aku pun menuruti perintahnya, melangkah ke tempat mereka berdiri.
"Di sini kami beribadah selama berabad-abad," kata biarawati tua itu perlahan-lahan.
Apa maksudnya mengatakan berabad-abad? Bukan soal bangunan yang sudah tua? Aku memandang wajah biarawati itu mengharap penjelasan.
Tetiba biarawati itu tertawa terkekeh-kekeh. Aku terkejut. Suaranya bukan lagi seperti suara manusia. Suaranya semakin besar dan berat, memenuhi seluruh ruangan.
Bulu kudukku berdiri. Wajah biarawati itu mulai berubah. Hidungnya lepas, lalu matanya copot jatuh ke lantai. Aku terloncat dan memjerit spontan.
Aku mencoba berlari, tapi kaki terasa berat tak bisa diangkat. Kumpulan biarawati muda mendekati dengan wajah terangkat. Ya Allah, ternyata wajah mereka rata, tak ada mata, hidung dan mulut.
Aku terpekik. Dalam kepanikan otak bawah sadar memerintahkan untuk membaca doa. Dengan terbata-bata aku membaca Al Fatihah dan ayat kursi. Langkah mereka tertahan karena bacaan tersebut.Â
Aku membaca ayat kursi terus menerus sehingga mereka tampak kepanasan dan kesakitan. Saat itu aku gunakan lari menaiki anak tangga. Mereka mengejar, beberapa melayang langsung menghadang di depan pintu.
Dengan menguatkan diri dan mengatasi ketakutan, aku berkonsentrasi membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an lebih keras dan mantap. Akhirnya mereka yang menghadang pintu seperti meleleh. Sambil terus membaca, aku membuka pintu sekuat tenaga.
Pontang panting aku menuruni bukit disertai bacaan untuk mengusir makhluk halus. Hampir saja aku terjatuh ke sisi jurang. Aku bangkit lagi hingga berhasil menuju tempat penginapan.
Di depan penginapan aku tersungkur kelelahan. Rupanya kedatanganku terdengar penjaga. Dia keluar dan tampak kaget melihat kondisiku.
Dalam ruang tamu penginapan, aku menghirup teh hangat yang dibuatkan oleh penjaga. Sepasang kekasih itu juga ada, mereka memberikan perhatian yang membuat aku tersentuh.
"Biara itu memang sudah lama tidak digunakan untuk beribadah. Pemerintah berniat merenovasi untuk dijadikan tempat wisata sejarah," jelas penjaga.
"Memang kadang kita mendengar ada nyanyian dari sana. Maklum bangunan kuno, pasti ada penunggunya".
Aku terdiam. Sungguh pengalaman yang tidak menyenangkan. Aku tidak akan bisa melupakannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H