Tak berapa lama, dari pintu yang lain masuk sekumpulan biarawati muda. Itu terlihat dari pakaian mereka yang tampak tidak sepanjang biarawati yang mengajak aku. Mereka datang dengan wajah tertunduk dan mengatupkan kedua tangan di dada.
Aku pikir, betapa khidmat dan khusyuknya mereka. Mendadak aku malu karena sering sholat tanpa khusyuk karena memikirkan urusan duniawi. Ini membuat aku introspeksi diri.
Aku tidak ingin mengganggu ibadah mereka. Biarawati tua memimpin mereka menyajikan pujian-pujian kepada Tuhannya. Suara mereka menggema ke seluruh ruangan, merasuk jiwa hingga aku merinding. Padahal aku tidak mengerti bahasa yang digunakan.
Usai puja dan puji, biarawati tua melambaikan tangan kepadaku untuk mendekat. Aku pun menuruti perintahnya, melangkah ke tempat mereka berdiri.
"Di sini kami beribadah selama berabad-abad," kata biarawati tua itu perlahan-lahan.
Apa maksudnya mengatakan berabad-abad? Bukan soal bangunan yang sudah tua? Aku memandang wajah biarawati itu mengharap penjelasan.
Tetiba biarawati itu tertawa terkekeh-kekeh. Aku terkejut. Suaranya bukan lagi seperti suara manusia. Suaranya semakin besar dan berat, memenuhi seluruh ruangan.
Bulu kudukku berdiri. Wajah biarawati itu mulai berubah. Hidungnya lepas, lalu matanya copot jatuh ke lantai. Aku terloncat dan memjerit spontan.
Aku mencoba berlari, tapi kaki terasa berat tak bisa diangkat. Kumpulan biarawati muda mendekati dengan wajah terangkat. Ya Allah, ternyata wajah mereka rata, tak ada mata, hidung dan mulut.
Aku terpekik. Dalam kepanikan otak bawah sadar memerintahkan untuk membaca doa. Dengan terbata-bata aku membaca Al Fatihah dan ayat kursi. Langkah mereka tertahan karena bacaan tersebut.Â
Aku membaca ayat kursi terus menerus sehingga mereka tampak kepanasan dan kesakitan. Saat itu aku gunakan lari menaiki anak tangga. Mereka mengejar, beberapa melayang langsung menghadang di depan pintu.