Aku lelah. Hubungan dengan si dia melelahkan lahir dan batin. Aku harus mempertimbangkan apakah mau diteruskan atau tidak. Sebab, semua itu menyangkut masa depanku. Aku harus berpikir panjang.
Sepertinya aku harus mencari tempat yang tenang untuk berpikir. Ah ya, lebih baik aku cari kafe saja. Aku bisa rileks sambil minum kopi. Tempat yang tepat adalah salah satu kafe dekat Ortakoy. Yup, yang di tepi laut agar dapat menikmati pemandangan malam yang indah dan syahdu.Â
Maka meluncurlah kakiku ke sana. Bagiku, pantai adalah tempat yang tidak pernah membosankan. Ada burung-burung camar yang tak henti-hentinya menjerit. Ada kucing yang gemar berebut ikan. Dan ada pula kapal pesiar lalu lalang bersama wisatawan.
Senja telah berlalu, langit pun semakin gelap. Aku memperhatikan cahaya yang hilang di ufuk barat. Lampu-lampu telah dinyalakan, membuat suasana temaram lebih ceria.
Ini bukan malam minggu. Tapi situasi di sekitar Ortakoy tetap ramai. Selalu ada para turis mancanegara yang berkeliling, atau anak-anak muda yang sedang memadu kasih. Aku bukanlah bagian dari mereka.
Kafe yang paling sepi, itulah yang aku cari. Supaya aku tidak terganggu oleh orang lain, aku pilih kafe yang tampak sederhana. Hanya ada beberapa orang di sana dan mereka bukan pasangan. Kafe ini rupanya agak pelit dengan listrik, karena lampunya tak banyak dan cahayanya lebih suram.
Nah, itu ada meja yang sesuai dengan seleraku. Ada di bawah pohon, menghadap ke laut. Tapi mengapa ada sebuah cangkir? Mungkin bekas pengunjung sebelum ini.
Setelah memesan kopi dan baklava, aku duduk di sana. Ternyata dugaan ku salah. Cangkir itu masih berisi penuh dengan kopi. Yah, berarti ada yang duduk di sini. Aku harus pindah.
"Tidak apa-apa jika kamu mau duduk di situ," sebuah suara bernada bariton terdengar di telinga. Tahu-tahu ada seorang lelaki datang dari arah belakang.
Aku kaget dan menoleh. Si empunya suara tersenyum. Dia sosok yang tinggi besar, dengan jenggot dan kumis tipis. Wajahnya menunjukkan keramahan.
"Tapi saya sedang ingin sendiri," kataku jujur.
Ia kembali tersenyum,"Saya tahu. Kamu sedang memikirkan sesuatu,"
Aku terperangah. Kok dia bisa menebak? Â Apa wajahku terlihat galau?
"Izinkan saya menghabiskan kopi di sini. Setelah itu saya akan pergi agar kamu bisa sendiri."
Aku jadi tidak enak hati. Dia tampaknya baik. Lalu aku mengangguk.
Lelaki itu mengambil cangkirnya dan mereguk dengan nikmat. Ia memperhatikan burung-burung yang melintas di depan kami.
"Hidup ini indah. Nikmatilah. Jangan merisaukan sebuah persoalan secara berlebihan," lagi-lagi ia seperti mengetahui apa yang aku pikirkan.
Aku terdiam sambil menyimak perkataannya.Â
"Kadangkala kita harus memilih antara dua. Gunakan akal dan logika, kesampingkan dulu perasaan,"
"Saya kuatir bahwa dia adalah bagian dari masa depan. Mungkin ini adalah ujian kesetiaan saja untuk saya," akhirnya aku tak tahan untuk bercerita. Entah bagaimana aku mempercayai lelaki ini.
"Pikirkan dengan jernih. Jika hubungan kalian selama ini lebih banyak merugikan kamu, lebih baik kamu tinggalkan dia," jawabnya.
"Itu berarti dia tidak layak untuk kamu. Carilah orang yang benar-benar memperhatikan kamu."Â
Aku termenung. Ya, dia benar. Kalau diingat-ingat, selama ini hubungan kami tidak jelas. Aku selalu merasa gamang dengan sikapnya.
Angin laut berhembus semilir membuat mataku terasa sangat berat. Tanpa sadar aku jatuh tertidur di hadapan lelaki itu kemudian meminum kopinya.
"Madame, ini pesanan anda," sebuah suara membangunkan aku.
Dengan mengucek mata, aku melihat pelayan kafe membawa secangkir kopi dan sepiring baklava. Tapi aku tidak melihat lelaki tadi. Cangkir kopinya pun tidak ada.
"Ya. Terima kasih. By the way, kemana lelaki yang tadi bersama saya?"Â
 "Lelaki yang mana?" Pelayan itu tampak kebingungan. "Dari tadi madame sendirian di sini."
"Lho, tadi ada kok satu orang lelaki yang mengajak ngobrol saya di sini sambil minum kopi."
"Madame," wajah si pelayan kelihatan serius. "Sejak tadi anda sendiri di tempat ini. Saya melihat anda sambil membuat pesanan kopi dan baklava. Saya justru heran, anda tampak seperti sedang bercakap-cakap dengan seseorang. Saya kira anda bicara sendiri."
Mendengar tutur pelayan itu aku ternganga. Tak tahu harus berkata apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H