Ia kembali tersenyum,"Saya tahu. Kamu sedang memikirkan sesuatu,"
Aku terperangah. Kok dia bisa menebak? Â Apa wajahku terlihat galau?
"Izinkan saya menghabiskan kopi di sini. Setelah itu saya akan pergi agar kamu bisa sendiri."
Aku jadi tidak enak hati. Dia tampaknya baik. Lalu aku mengangguk.
Lelaki itu mengambil cangkirnya dan mereguk dengan nikmat. Ia memperhatikan burung-burung yang melintas di depan kami.
"Hidup ini indah. Nikmatilah. Jangan merisaukan sebuah persoalan secara berlebihan," lagi-lagi ia seperti mengetahui apa yang aku pikirkan.
Aku terdiam sambil menyimak perkataannya.Â
"Kadangkala kita harus memilih antara dua. Gunakan akal dan logika, kesampingkan dulu perasaan,"
"Saya kuatir bahwa dia adalah bagian dari masa depan. Mungkin ini adalah ujian kesetiaan saja untuk saya," akhirnya aku tak tahan untuk bercerita. Entah bagaimana aku mempercayai lelaki ini.
"Pikirkan dengan jernih. Jika hubungan kalian selama ini lebih banyak merugikan kamu, lebih baik kamu tinggalkan dia," jawabnya.
"Itu berarti dia tidak layak untuk kamu. Carilah orang yang benar-benar memperhatikan kamu."Â