Engkau tersenyum. Ya Tuhan, senyummu masih mampu menggetarkan hati. Apakah itu pertanda aku masih mencintaimu? Hush, aku mengusir pikiran itu.
"Begini, aku datang untuk meminta maaf kepadamu," suaramu bertambah pelan. Hanya lebih keras dari sebuah bisikan.
"Maaf untuk apa?" Aku memperjelas.
Engkau menarik nafas panjang. "Aku minta maaf untuk semua perbuatan yang telah melukai hatimu. Maukah kau memaafkan aku?"
"Aku bisa memaafkanmu. Tapi bukan berarti aku bisa menerima mu kembali," aku berkata datar.
"Oh tidak. Aku sama sekali tidak berharap engkau menerima aku kembali. Aku tidak pantas untuk itu. Engkau patut mendapatkan lelaki yang lebih baik dari aku. Aku hanya membutuhkan maaf darimu,"
Aku terdiam beberapa saat. Engkau kelihatan bersungguh-sungguh. Ah, mana mungkin aku menolak permintaan maaf yang tulus? Justru nanti aku yang berdosa.
"Oke. Aku maafkan,"
"Betul?" Engkau meyakinkan. Aku mengangguk tegas.
"Alhamdulillah, terima kasih. Aku lega sekarang, tidak ada lagi beban yang memberati selama ini," engkau tersenyum gembira.
Kemudian engkau berdiri,"Seperti janjiku tadi, aku tidak lama. Aku akan pergi. Aku tidak akan mengganggumu lagi. Semoga engkau selalu berbahagia".