Aku tak dapat menahan kegelisahan. Pandemi Covid 19 ini membuat aku mencemaskan seluruh keluarga. Terutama yang tinggal di desa dekat perbatasan, aku kuatir mereka belum mendapatkan perlengkapan yang cukup untuk melindungi diri.Â
Memang dari Istanbul, semua penduduk tidak diperbolehkan keluar rumah. Namun ada hal-hal urgensi yang bisa diizinkan. Karena itu aku bertekad pulang kampung dengan membawa barang-barang yang dibutuhkan.Â
Kebetulan aku mendapatkan teman perjalanan, Zaenab dan suaminya yang merupakan tetangga satu apartemen. Mereka berasal dari daerah yang sama dengan keluargaku.
Seorang sahabat yang menjadi pejabat teras, mengeluarkan surat pengantar agar kami bisa keluar kota. Tentu saja setelah menjalani serangkaian test yang membuktikan kami sehat.Â
Kami juga diwajibkan masuk karantina ketika setelah nanti memasuki provinsi dimana keluarga berada. Tak mengapa, yang penting aku bisa memastikan peralatan yang dibutuhkan diterima keluarga.
Selepas Maghrib dan berbuka puasa, kami berangkat. Suami Zaenab yang memiliki mobil dan menjadi supirnya. Soalnya aku tidak bisa menyetir.
Kendaraan yang kami gunakan melaju kencang nyaris tanpa berhenti. Â Jalanan kosong, apalagi yang menuju luar kota. Selama di jalan kami hanya berpapasan beberapa kendaraan.
Saat tengah malam, kami sudah melewati dua provinsi. Kami tidak berhenti kecuali untuk mengisi bensin. Ada bekal minum dan makanan kecil yang sebelumnya sudah disediakan.
Pukul dua dini hari akhirnya kami mulai mendekati jalur masuk ke daerah yang dituju. Dari kejauhan kami melihat kelompok tentara yang berjaga. Ada sebuah gedung yang menjadi posko mereka.
Penjagaan dan pemeriksaan oleh militer adalah hal biasa di daerah yang dekat dengan perbatasan negara lain seperti Suriah dan Iran. Turki sangat ketat dalam hal ini.
Seorang prajurit memberi isyarat agar kami menepi. Mereka meminta kami turun dan masuk ke posko. Di sana kami diperiksa dan diberondong berbagai pertanyaan. Aku pun menunjukkan surat pengantar.
Alhamdulillah, semua berakhir dengan lancar. Kami diperbolehkan melanjutkan perjalanan. Dengan perasaan lega aku memandang deretan bukit-bukit yang tampak berlarian dalam gelap. Kami menyusuri jalan sepi dengan pepohonan cemara di kanan kiri.
Daerah ini memang sangat sepi, maklum provinsi yang paling ujung ke Timur. Banyak padang rumput dan hutan kecil. Desa-desa ada di balik bukit, penduduknya menjadi petani atau peternak.
Pukul dua dini hari kami membelah kesunyian. Udara dingin mulai terasa. Jalan berkelok-kelok memutari bukit. Sebentar lagi waktunya sahur, karena itu harus segera tiba di tempat tujuan. Kecepatan mobil ditambah, tetapi mataku terasa berat.
Tengah aku terkantuk-kantuk, aku merasa mobil berhenti. Aku membuka mata dan menguap.
"Apa kita sudah sampai?" Tanyaku pada Zaenab.
"Belum," Zaenab menjawab perlahan. Ada nada cemas yang tertahan. "Sepertinya kita kesasar".
Aku terhenyak. Spontan memperhatikan sekeliling. Kami berada di tepi jalan yang asing, rasanya aku belum pernah lewat sini. Kanan kiri adalah padang rumput yang luas. Beberapa pohon tampak sangat jauh di kaki bukit.
"Kok bisa kesasar?" Aku bingung.
"Entahlah, tadi aku agak mengantuk, mungkin salah belok di perempatan," jawab suami Zaenab.
Nah lho, bisa jadi begitu yang terjadi. Sebab dia kelelahan membawa mobil sendirian. Aku menyesal kenapa tidak pernah berusaha belajar menyetir.
"Sudah lihat google map?"
"Sinyal mati," kata Zaenab. Aku memeriksa hape, betul kata dia, tidak ada sinyal.
"Mungkin kita lanjutkan saja dulu. Kalau ada perumahan penduduk, kita nanti bertanya," usulku.
Akhirnya mobil berjalan lagi. Tapi setelah satu jam belum juga bertemu dengan satu rumah pun. Aku merasa memasuki dunia antah berantah.
"Bagaimana nih," Zaenab semakin cemas. "Ini sudah waktunya sahur,"
Mobil kembali berjalan. Setelah sebuah belokan tajam, kami melihat sebuah cahaya. Kami menarik nafas lega.
"Ada rumah penduduk. Mudah-mudahan dia mau menjual makanan untuk kita," kata suami Zaenab.
Semakin dekat menuju sumber cahaya, baru kelihatan bahwa itu bukan sebuah rumah, melainkan gedung kecil. Dalam penglihatan ku, mirip barak tentara.
Betul saja, ketika memasuki halaman kami melihat beberapa prajurit berseragam. Kami pun turun dan mengucap salam. Mereka menyambut dengan ramah.Â
"Kalian dari mana mau ke mana? " Tanya seorang tentara yang tampaknya disegani oleh yang lain.
"Kami tersasar, Pak," lalu suami Zaenab menjelaskan secara singkat.Â
"Ooh, kalau begitu masuklah. Kebetulan kami juga sedang sahur."
Kami dituntun memasuki ruangan yang cukup besar. Sepertinya ada lebih dari 10 orang sedang makan lesehan di lantai. Mereka serentak menoleh kepada kami.
"Nah, silakan bergabung makan bersama kami. Hanya ini makanan yang ada," tentara itu mendekatkan roti dan semangkuk besar sop.Â
Karena lelah dan lapar, kami makan cukup banyak. Para prajurit itu tampaknya mengerti, sehingga tidak ada yang mengajak bicara. Selesai makan, kantuk menyerang hebat sehingga aku jatuh tertidur.
Aku terbangun ketika sinar matahari menyeruak menerpa wajahku. Zaenab dan suaminya masih tertidur pulas tak jauh dari tempatku. Dengan heran aku melihat sekeliling.
Rasanya, tadi malam kami memasuki sebuah barak tentara yang ramai. Tapi kini aku melihat bahwa kami berada di sebuah gedung tua yang hampir rubuh. Separuh atap telah hilang, daun jendela dan pintu pun tidak ada.
Aku segera membangunkan Zaenab dan suaminya.Â
"Bangun cepat, lihat kita berada dimana?"
Sambil mengucek mata mereka celingukan. "Lho, mana tentara-tentara itu?" Zaenab kebingungan.
Kami baru tersadar telah mengalami sesuatu yang ganjil. Buru-buru kami masuk mobil, ingin segera meninggalkan tempat itu. Anehnya, hape telah menyala dengan sinyal yang kuat. Berbekal google map, kami pun melaju ke tempat tujuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H