Malam itu di balai desa berkumpul beberapa orang, kebanyakan laki-laki. Pak Kades duduk di depan dengan meja kursi, sedangkan warga di hadapannya berderet empat ke belakang.Â
Salah seorang warga bertumbuh tambun dan berjenggot berdiri dari kursinya. Ia berkata keras.
"Jangan sampai kita menerima jenazah yang mati karena Corona, Pak Kades," teriaknya. "Nanti kita semua ketularan."
"Betul, betul," timpal beberapa warga yang lain.
"Kita tidak boleh menolak. Ini aturan dari pemerintah," kata Pak Kades.
"Kita lawan saja. Kalau dibiarkan, nanti kita mati semua," seru si Tambun.
"Tidak bisa, nanti kita kena sanksi dari pemerintah,"
"Jangan mau kalah Pak. Ini wilayah kita, bukan milik pemerintah. Benar kan bapak-bapak?" Si Tambun memprovokasi.
"Benar, benar," teriak yang lain.
"Besok kita hadang saja jenazah si Fulan yang mau dimakamkan di desa ini," tambah si Tambun untuk membakar emosi warga.
"Ayo, ayo kita hadang," sambut warga.
Pak Kades terpaksa menggebrak meja. "Dengarkan saya. Kita harus menerima jenazah si Fulan karena dia berasal dari desa ini. Kasihan keluarganya,".
Pak Kades melanjutkan,"Lagipula menurut para ahli, jenazah sudah tidak bisa menularkan. Apalagi sudah dibungkus rapat sesuai standar,"
"Bohong. Buktinya yang mengantar saja masih menggunakan alat pelindung," si Tambun membantah.Â
Aku yang menyaksikan dari pojokan ingin sekali berteriak kepada si Tambun agar tidak terus membantah dan memprovokasi. Apa daya suaraku tidak keluar, sehingga tidak ada yang mendengar.
Beruntung kemudian datang sesepuh desa. Ki Demang yang sangat disegani, termasuk oleh si Tambun. Aku mengenal Ki Demang sebagai orang yang bijaksana.
"Sudahlah jangan ribut. Kita sudah sepatutnya menerima jenazah si Fulan untuk dimakamkan di sini," katanya tenang.
"Tapi Pak..." Si Tambun masih berusaha membantah. Namun kata-katanya terhenti ketika Ki Demang menatap tajam ke arahnya.
"Si Fulan adalah tenaga medis yang gugur ketika melakukan tugasnya. Ia menyelamatkan orang lain dengan mengorbankan nyawanya sendiri. Dia adalah pahlawan. Seharusnya kita bangga kepadanya,"
Ki Demang melanjutkan,"Aku sudah mempelajari bahwa jenazah korban Corona tidak akan menularkan. Karena virus Corona mati jika orang yang dihinggapinya telah mati."
"Orang yang mengantar tetap menggunakan alat pelindung karena memang memenuhi ketentuan dari rumah sakit. Bukan berarti mereka membawa penyakit. Mereka hanya berjaga-jaga,"
"Jadi tidak bahaya dimakamkan di sini?" Tanya warga yang duduk paling depan dengan nada masih was-was.
"Tidak. Kita tetap aman. Namun supaya kalian tenang, jenazah si Fulan kita sediakan lahan di pemakaman di ujung desa. Pemakaman di tepi hutan," jelas Ki Demang.
Semua yang hadir manggut-manggut setuju. Pak Kades menarik nafas lega. Akhirnya persoalan ini bisa diselesaikan dengan baik.
Esok harinya, sebuah ambulan memasuki desa itu dengan suaranya yang khas. Orang-orang desa tidak ada yang berani keluar rumah, mereka hanya mengintip dari balik jendela.
Jenazah itu disambut oleh Ki Demang, Pak Kades dan keluarga si Fulan. Para petugas medis mengeluarkan jenazah si Fulan dari dalam ambulan.Â
Pak Kades, Ki Demang dan keluarga si Fulan hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Mereka menjaga jarak sesuai anjuran pemerintah.
Dan aku, menyaksikan tubuhku dimasukkan ke dalam liang lahat, lengkap dengan plastik membungkus rapat. Tubuhku lalu ditimbun tanah hingga tak terlihat. Â Aku merasakan hawa dingin di sekelilingku, kemudian tanpa sadar melayang, menyaksikan bapak dan ibu berurai air mata. Setelah semua terasa gelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H