Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gelang Permata dari Ibunda

18 Februari 2020   16:56 Diperbarui: 18 Februari 2020   17:03 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang ibu (dok.cgr)

Sebagai anak terakhir atau anak bungsu, saya sangat dekat dengan ibunda. Boleh dikatakan bahwa semua keinginan saya pasti akan berusaha dipenuhi oleh beliau. Tetapi saya bukan anak manja, justru saya adalah anak yang paling mandiri di antara seluruh keluarga.

Menyadari bahwa keadaan ekonomi keluarga hanya pas-pasan, saya tidak pernah minta macam-macam. Kedua orang tua sudah jatuh bangun untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang perguruan tinggi. 

Ketika giliran saya, almarhum Bapak yang pegawai negeri tidak sanggup lagi membiayai. Namun saya tidak menjadi patah arang, saya bekerja magang menjadi wartawan sembari kuliah. Mulai semester enam, saya bekerja keras membantu orang tua.

Saya cukup berhemat, tidak memiliki gaya hidup sebagaimana perempuan lainnya yang senang membeli pakaian. Penghasilan saya murni untuk membantu keluarga. Dan apapun keinginan ibunda, akan saya kabulkan. Jika beliau ingin mengganti meja makan karena sudah usang, maka saya mengumpulkan uang untuk membeli. Saya hanya ingin membahagiakan Ibunda.

Ibunda tahu betul semua pengorbanan saya tanpa berkoar-koar. Kalau ada kesulitan dalam keluarga, dilempar ke pundak saya. Termasuk ketika kakak-kakak saya mendapat masalah.

Karena itu bisa dibayangkan bagaimana dekatnya hubungan saya dengan Ibunda. Beliau selalu membela dan mengutamakan saya. Dalam hal remeh seperti masakan, ibunda mengutamakan saya, baru yang lainnya.

Bertahun-tahun berjalan seperti itu. Saya jarang memikirkan diri sendiri. Sesuai dengan ajaran agama, maka bagi saya kebahagiaan ibunda adalah yang utama. Bahkan kesempatan melanjutkan pendidikan dengan beasiswa ke Perancis saya tolak karena ibunda tidak mengijinkan.

Pada suatu waktu, di hari ulang tahun saya, ibunda memberi kejutan. Beliau memberi hadiah sebuah gelang emas permata. Rupanya ibunda baru menang arisan, uangnya digunakan untuk membuat gelang tersebut. Saya sangat terharu, karena permata-permata itu adalah simpanan pribadi ibunda.

Walaupun begitu, saya hanya menyimpan gelang itu. Semua aktivitas saya tidak membutuhkan penampilan yang harus menggunakan perhiasan. Kalau ada undangan pesta, baru saya akan mengenakannya.

Tahun 2009, usai bertugas sebagai juru kampanye nasional untuk sebuah partai, saya harus menyetop seluruh kegiatan. Ibunda jatuh sakit, saya harus merawat dengan sungguh-sungguh. Semua hal keduniawian saya tinggalkan, yang penting saya tidak boleh meninggalkan ibunda.

Selama 10 bulan ibunda hanya terbaring di tempat tidur, tidak bisa melakukan apa-apa. Saya dengan telaten memberi makan, memandikan dan semua yang diperlukan untuk ibunda. Saya sama sekali tidak berani meninggalkan beliau.

Dalam 10 bulan itu, biaya berobat sangat tinggi. Saya kewalahan karena sudah tidak memiliki penghasilan. Sementara sumbangan dari kakak-kakak juga tidak memadai. Di situlah saya memutuskan mulai menjual apa yang saya miliki.

Gelang permata yang dahulu menjadi hadiah ulangtahun juga harus dilepaskan. Saya meminta kakak ipar untuk membawanya ke pasar. Hasilnya untuk  biaya berobat  dan ke rumah sakit ibunda. 

Kemudian ibunda tahu bahwa saya menjual gelang tersebut. Beliau menangis kayitu merupakan hadiah ulang tahun.  Saya tidak lagi memiliki barang berharga.

Saya menghibur ibunda,"Tidak apa-apa Man, gelang itu berasal dari Mami, kembali lagi untuk Mami. Jangan pikirkan saya, Insya Allah, suatu saat Allah akan menggantinya."

Ibunda terpaksa menerima kenyataan bahwa saat itu gelang harus dijual. Tapi hatinya sangat sedih karena sakitnya membuat saya susah. Padahal saya ikhlas merelakan gelang tersebut. Apalah artinya pengorbanan saya dibandingkan dengan seorang ibu yang merawat saya sejak dalam kandungan?

10 bulan kemudian, Januari 2010, Ibunda dipanggil menghadap Allah SWT. Untuk terakhir kalinya saya berusa melakukan yang terbaik dalam mengantar ibunda ke tempat peristirahatan yang terakhir.

Saya sangat kehilangan ibunda. Hingga kini jika saya teringat beliau airmata selalu bercucuran. Sungguh, tiada kasih sayang yang tulus kecuali dari ibunda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun