Begitu pula yang terjadi pada orang lain yang berada dalam kelompok minoritas yang mendukung Paslon di wilayah lain. Mereka akan kehilangan kedamaian dalam kehidupan sehari-hari jika ketahuan memilih Paslon yang didukung mayoritas penduduk setempat.
Ketiga, mengkotak-kotakkan masyarakat, dan ini akan memicu perpecahan. Sudahlah cukup bahwa masalah SARA menjadi rentan untuk diadu domba.
Ini sama saja memecahkan masyarakat dalam dua katagori, pendukung si 'A' dan  pendukung si "B'. Hal ini bisa menimbulkan pergesekan di antara mereka, mengarah pada konflik horizontal.
Bagaimana pertanggungjawaban kita pada para pendiri bangsa, jika memecah belah masyarakat untuk meraih kemenangan menjadi penguasa? Padahal mereka sudah bersusah payah menyatukan bangsa dan negara ini.
Pemakaian baju putih ketika di TPS bisa mendorong pergesekan itu. Bagaimana nanti sikap yang kalah? Jika satu kelompok tidak menerima dan mengamuk, maka teridentifikasi siapa yang menjadi musuh dengan bajunya.
Karena itu, demi kelancaran penyelenggaraan pilpres dan keutuhan bangsa dan negara, saya mengimbau agar Presiden mencabut instruksi ini. Ingatlah pesan Bung Karno, 'apapun bayarannya persatuan dan kesatuan harus tetap dipertahankan'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H