Waktu telah menunjukkan pukul lima sore, ketika aku baru menyelesaikan pertemuan bersama para pejabat setempat. Aku bergegas keluar dari gedung kantor DPRD, lalu melaju dengan sepeda motor pinjaman menuju pantai.
Yup, aku hendak mengejar sunset di pantai Anyer. Mumpung lagi mendapat tugas ke Cilegon, aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berburu sunset.
Sejak dulu memandang matahari terbenam menjadi salah satu kegemaranku. Sunset tidak hanya indah dipandang mata, tetapi juga membawa nuansa tersendiri, agak sedikit mistis menurutku.
Untunglah kota ini tidak sepadat Jakarta yang penuh dengan kemacetan. Sehingga aku bisa melaju dengan kecepatan penuh dan tiba tepat pukul setengah enam di bibir pantai.
Motor aku parkir dekat para pedagang makanan. Dengan hati riang aku berlari ke pantai. Tak ubahnya seperti bocah yang mengejar penjual mainan.
Dan di sana, aku tidak sendiri menjadi penghuni pantai. Banyak orang yang juga sedang menanti terbenamnya matahari. Sebagian besar adalah anak anak muda.
Beberapa di antaranya adalah pasangan kekasih. Mereka berpelukan, bergandengan tangan sambil menyusuri pantai. Sedangkan yang lain menatap langit jingga sambil duduk bermesraan.
Aku tak peduli, sunset bisa menjadi milik siapa saja. Â Masalahnya, aku ingin memotret dengan berbagai cara. Aku ingin membuat siluet diriku pada saat matahari turun. Dan itu sulit dilakukan jika seorang diri.
Tengah aku kebingungan, ada suara menegurku dari belakang. Suara seorang lelaki yang terdengar berat.
"Mau saya bantu foto, mbak?"Â
Aku segera membalikkan tubuh. Di hadapanku berdiri lelaki berperawakan sedang, dengan tinggi melebihi aku.