Ternyata rekor terburuk dalam pembelaan hak-hak asasi manusia justru dilakukan oleh negara-negara Barat. Mereka yang gencar mengkampanyekan Hak Asasi Manusia, mereka juga yang paling sering melanggarnya. Demikian penilaian Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan.
Erdogan mengatakan hal itu dalam acara bertajuk 'Peradaban Dunia' yang diselenggarakan dalam rangka peringatan 70 tahun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia di Istanbul kemarin. Â Keberpihakan dunia Barat kepada kasus kemanusiaan dilihat dari kepentingan mereka di negara tertentu.
Sebagai contoh, Erdogan menyoroti palanggaran Hak Asasi Manusia dalam demonstrasi yang berlarut-larut di Paris, Perancis. Media Barat tidak mempublikasikan secara besar-besaran, padahal kerusuhan tersebut telah mengakibatkan krisis ekonomi bagi Perancis.
Namun perlakuan yang berbeda dialami oleh negara-negara Islam dan dunia ketiga. Jika ada ketidakseimbangan sedikit saja, langsung di blew up oleh media-media Barat. Misalnya negara-negara di kawasan Timur Tengah, media media Barat memberitakan tidak sesuai dengan fakta.
Berita-berita yang disebarkan oleh media-media Barat mendiskreditkan negara negara yang tidak mau tunduk pada perintah koalisi sekutu. Terutama jika ada kepentingan untuk menguasai kawasan dan negara tertentu dalam masalah ekonomi dan politik.
Erdogan merujuk pada liputan media Barat  yang luas selama kerusuhan yang melanda Istanbul pada 2013, ketika demonstrasi yang relatif kecil di Gezi Park tumbuh menjadi gelombang protes anti-pemerintah secara nasional yang menyebabkan 8 demonstran dan seorang perwira polisi tewas.Â
Dia mengatakan bahwa media Barat telah gagal memberikan liputan yang sama untuk kerusuhan "rompi kuning" yang telah mendorong Perancis ke dalam kekacauan. Lebih dari seribu orang telah ditangkap selama protes dan mengakibatkan kerugian material bagi jutaan orang.
"Mereka tidak menyiarkan peristiwa di Perancis karena mereka tidak jujur. Mereka yang menempatkan kami melalui tes demokrasi, diam saja  ketika mereka menjadi target," tandas  presiden Erdogan. Kerusuhan di Paris memperlihatkan adanya kekerasan polisi terhadap demonstran.Â
Sejak 17 November, sebagian  warga negara kelas pekerja mulai turun ke jalan sebagai protes kenaikan pajak. Mereka memrotes kenaikan  harga bahan bakar. Kemudian meningkat  menjadi demonstrasi massa di seluruh negeri. Seluruh rakyat Perancis menentang pemerintahnya.
Demonstrasi pekerja 'rompi kuning' telah meminta Presiden Perancis, Emmanuel Macron untuk mundur dari jabatannya. Gerakan rompi kuning menuduh Macron memihak orang kaya dengan mengorbankan mereka yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan.
Selama demonstrasi  di Paris dan kota-kota lain di negara itu, telah terjadi penjarahan yang  menyebabkan kerugian material. Polisi menanggapi dengan keras. Demo paling besar terjadi di Paris pada hari Sabtu,  yang memaksa Macron memberi pernyataan resmi.
Namun  pemerintah Perancis telah memobilisasi 8.000 polisi dan mengerahkan kendaraan lapis baja untuk mengatasi aksi para demonstran. Lebih dari seribu orang ditangkap polisi dari seluruh negeri.Â
Presiden Erdogan juga mengatakan negara-negara Barat telah gagal membela hak asasi manusia dalam menghadapi krisis kemanusiaan yang muncul di Suriah. Perang yang disulut oleh mereka, tetapi yang menanggung akibatnya adalah Turki.
"Ketika jutaan pengungsi bergerak menuju Turki, mereka menyerukan kami untuk membuka perbatasan kami menyambut pengungsi dengan langkah-langkah paling keras, termasuk pagar kawat dan dinding perbatasan. Siapakah pembela hak asasi manusia? Kami atau mereka?" Erdogan bertanya.
Karena itulah Turki berada dalam daftar teratas sebagai negara yang membela Hak Asasi Manusia. Erdogan mengatakan bahwa jika itu bukan berarti Turki  memiliki banyak uang, tetapi karena Turki  memiliki hati yang besar. Turki membela pengungsi Rohingya dan juga negara-negara di Afrika.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H