Kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi yang menghebohkan dunia internasional adalah bentuk pembungkaman pers oleh penguasa. Dan hal ini pernah dialami oleh negara kita ketika masih berada di zaman Orde Baru, di bawah kekuasaan rezim Soeharto.
Jamal Khashoggi mengingatkan saya pada wartawan Udin yang bekerja di harian Bernas, Yogyakarta. Ia tewas dibunuh oleh orang tak dikenal yang menyerang dia di depan rumah kontrakan. Hingga sekarang, 22 tahun berlalu kasus ini tidak pernah diungkap secara tuntas.
Udin, atau nama lengkapnya Fuad Muhammad Syafruddin, lahir di Bantul, 18 Februari 1964. Ia bekerja di harian Bernas sejak tahun 1986, dua tahun sebelum ia tewas. Â Udin dikenal sebagai wartawan yang suka menulis kritikan terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer.
Pada tahun 1996, situasi politik di Indonesia memanas. Semakin banyak orang yang berusaha memberontak dari kekejaman Soeharto. Tetapi setiap aktivis menghadapi ancaman  penculikan dan 'dihilangkan'. Demonstrasi damai saja, terasa menakutkan. Karena orang-orang yang berdemo pasti menjadi incaran.
Pada tanggal 20 Juni 1996 terjadi bentrokan antara massa PDIP dengan aparat keamanan di Gambir, Jakarta Pusat. Â Kebetulan waktu itu saya berada di Blitar dalam rangka peringatan haul Bung Karno. Saya dan teman-teman menyaksikan berita tersebut dari televisi.
Sedangkan pada tanggal 27 Juli 1996, terjadi peristiwa penyerbuan kantor Pusat PDIP yang berada di jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Dalam peristiwa itu jatuh korban dari massa PDIP. Hingga kini, kasus 27 Juli tidak pernah berhasil diungkap secara tuntas.
Dua bulan kemudian, terjadilah pembunuhan wartawan Udin yang mengguncang dunia pers. Bernas saat itu adalah koran yang sedang naik daun karena berani menyuarakan keresahan rakyat. Tragedi itu membuat kami berduka. Peristiwa itu menjadi sorotan seluruh masyarakat Indonesia.
Rumah kontrakan wartawan Udin di Jalan Parangtritis km 13 sudah diawasi oleh dua orang tak dikenal sejak tanggal 12 Agustus 1996. Seorang perempuan tetangga melihat mereka mengintip dari lubang pintu. Ketika ia mendekat, kedua orang itu buruburu pergi.
Esok harinya, Udin pulang dari kantor Bernas setelah ditemui orang yang mengaku Kaur  Pemda desa Wirokerten, Bantul. Ia lalu dianiaya orang tak dikenal di depan rumah kontrakan pada pukul 23. 30 malam.  Udin terluka parah ketika ditemukan, dan langsung dibawa ke RS Bethesda, kota Yogya.
Akibat pemukulan di kepala dengan menggunakan batang besi, operasi tak berhasil menyelamatkan nyawa Udin. Ia meninggal dunia pada hari Jumat tanggal 16 Agustus 1996. Udin dimakamkan keesokan harinya, 17 Agustus di pemakaman Trirenggo Bantul.
Upaya menghilangkan jejak agar si pembunuh tidak terlacak, dilakukan oleh Serma Edy Wuryanto dari Polres Bantul. Ia meminta sampel darah yang tidak ikut dikuburkan kepada istri Udin, Marsiyem. Polisi ini juga menghilangkan buku catatan Udin yang menjadi barang bukti penting.
Serma Edy wuryanto dimutasikan ke Mabes Polri Jakarta. Ia ditetapkan bersalah atas penghilangan barang bukti. Tetapi vonis yang diterimanya hanya satu tahun, delapan bulan penjara, sangat tidak memuaskan dan terasa ganjil.
Setelah itu ada upaya pembelokan kasus menjadi masalah pribadi dengan memunculkan saksi palsu, Tri Sumaryani yang  ternyata dibayar Bupati Bantul, Kuncoro untuk mengaku menjadi selingkuhan Udin.  Selain dia, ada pula Iwik yang dijadikan kambing hitam sebagai pelaku.
22 tahun berlalu, kasus ini tidak pernah diusut tuntas. Setiap tahun AJI (alieansi jurnalis Indonesia) berusaha mengangkat kembali kasus ini, tetapi tidak ada tanggapan dari pihak berwenang.Â
Karena itu sesungguhnya kekuasaan yang otoriter pasti tidak menyukai pers yang terbuka dalam melancarkan kritik. Sebagaimana Arab Saudi sekarang, menangkap siapa saja yang mengkritik kebijakan melalui twitter dan media lainnya. Pembunuhan wartawan pun dimungkinkan untuk itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H