Kita mengenal Kartini sebagai pahlawan perempuan yang menorehkan sejarah. Namun banyak yang tak tahu tentang sosok kakak laki-laki dari Kartini yang sangat jenius dan disegani orang Belanda. Mengapa Kartini yang dikenal masyarakat Indonesia? tidak lain karena jarang ada perempuan yang cerdas dan berpendidikan tinggi. Sedangkan laki-laki bangsawan memang sudah biasa bersekolah tinggi.
Sebenarnya sang kakak kandung inilah yang memiliki andil untuk memberi motivasi kepada Kartini untuk terus belajar dan berusaha meraih mimpinya. Kakak kandung yang paling dekat dan selalu mendukung dirinya dibandingkan orang tua dan kakak lainnya. Hanya saja, karena sang kakak sedang berada di tanah Belanda, ia tidak bisa bertukar pikiran sewaktu-waktu. Mereka hanya bisa berkomunikasi melalui surat menyurat.
Raden Mas Pandji Sosrokartono, lahir pada tanggal 10 April 1877, dua tahun lebih tua dari Kartini. Ia merupakan anak keempat RM Ario Samingun Sosroningrat dengan istri kedua, Ngasirah. Pendidikannya dimulai di Europeesche Lagere School di Jepara, lalu ke Hogere Burger School di Semarang dan melanjutkan di Sekolah Tinggi Delft.Â
Tetapi kemudian karena merasa kurang sesuai dengan sekolah tersebut, Kartono pindah ke Jurusan Bahasa dan Kesusasteraan Timur di Universitas Leiden, Belanda. Dia adalah generasi pertama orang Indonesia yang melanjutkan sekolah ke negeri Belanda. Kartono mendapat bimbingan dari Guru Besar JHC Kern.
Berkat dorongan Kern, Kartono menjadi pembicara dalam Kongres  Bahasa dan sastra Belanda ke 25 di Gent, Belgia. Dia berpidato dengan judul 'Het Nederlandsch in Indie' (Bahasa Belanda di Indonesia). Dalam pidatonya ia mengkritik pemerintah Belanda dengan bahasa yang santun. Setelah selesai berpidato, para hadirin bersorak sorai menyambutnya.
Kartono dikenal sebagai bangsawan Jawa yang pintar dan ganteng. Banyak gadis-gadis Belanda yang tertarik kepadanya. Kartono pun menikmati gaya hidup orang Eropa yang membuatnya terlibat banyak hutang. Sayangnya ia tidak berusaha menyelesaikan pendidikannya untuk meraih gelar sarjana karena tertarik banyak hal.
Walau tidak selesai kuliah, ia dikenal sebagai seorang poliglot, yaitu orang yang sangat mudah menguasai berbagai macam bahasa. Kartono mampu berbicara dalam 26 bahasa asing dan 10 bahasa Nusantara. Ia sering diundang sebagai pembicara dalam event-event internasional. Hebatnya, ia tidak dipandang sebagai seseorang yang berasal dari negara 'terbelakang' seperti Indonesia.
Ketika pecah Perang Dunia I, surat kabar Amerika, The New York Herald Tribune membuka lowongan menjadi wartawan. Â Kartono yang menguasai banyak bahasa berhasil lulus tes menjadi wartawan perang. Karena kecerdasannya dalam membuat tulisan, akhirnya ia mendapat gelar mayor oleh panglima perang Amerika Serikat.
Sebagai wartawan perang, Kartono mendapat gaji yang lumayan tinggi, sebesar $1250 AS. Ini membuatnya bisa hidup berkecukupan di Wina. Â Ia selalu berhasil membuat berita eksklusif yang tidak didapatkan dari wartawan lain. Selain itu Kartono juga menjadi penerjemah Liga Bangsa-bangsa (yang kemudian menjadi PBB) selama 1919-1921.
Hidup enak di negeri orang tidak membuat Kartono lupa daratan. Ia pulang kampung ke Indonesia. Â Kartono memiliki banyak rencana, tetapi sulit diwujudkan karena gerak geriknya selalu diperhatikan Belanda. Â Dengan izin Ki Hajar Dewantara, Kartono mendirikan perpustakaan di Taman Siswa. Tapi ia keluar dari Taman Siswa pada tahun 1927.
Tiga tahun kemudian, Kartono mendirikan rumah penyembuhan di Bandung dengan nama Darussalam yang artinya tempat yang damai. Secara menakjubkan ia memperlihatkan kemampuan supranatural dengan menyembuhkan orang sakit. Â Kartono hanya meletakkan tangannya ke dahi pasien. Lantas dalam waktu yang tidak terlalu lama, pasien akan sembuh.
Banyak pasien yang datang berobat kepadanya, termasuk orang-orang Belanda dan teman-teman pergerakan. Ia menjadi orang yang sangat disegani sebagai ahli kebatinan. Namun di awal pendudukan Jepang, kesehatannya mulai menurun, perlahan separuh badannya menjadi lumpuh. Kartono lalu meninggal pada tanggal 8 Februari 1952.
Kartono dimakamkan di  Sedomukti, desa Kaliputu, Kudus, Jawa Tengah. Di nisannya tertulis "Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji,  nglurug tanpa bala, menang tan ngasorake"  yang artinya kaya tanpa harta, sakti tanpa jimat/mantra, menyerbu tanpa pasukan, menang tanpa merendahkan). Begitulah sosok Kartono yang sesungguhnya, memiliki banyak kelebihan tanpa menjadi sombong.
Sumber: Historia, Arsip Nasional, Good News From Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H