Aku mengangguk haru,"Ya, kita berzikir bersama sampai masa itu tiba,"
Kau pun tersenyum, mengulurkan tangan dan menggenggam erat jemariku. "Aku ingin ke surga bersamamu".
Suara tambur mengagetkan kita berdua. Beberapa orang menggetarkan malam dengan bunyi tambur menggelegar untuk membangunkan orang-orang. Ah masih dini hari. Tetapi begitulah kebiasaan mereka dalam bersahur. Mereka menabuh sambil memekik, hingga tak ada yang tidak terbangun. Kau beranjak untuk menyiapkan makanan.
Seluruh keluarga makan di dalam ruangan karena balkon menjadi tempat kita berdua. Tak ada yang sampai hati mengganggu kebersamaan kita. Â Malah mereka segera tertidur kembali setelah menyantap habis masakan di meja. Kita tak peduli, kembali menghitung bintang-bintang hingga bergeser dari langit.
"Biarlah malam ini menjadi saksi, bahwa kita bersatu kembali," desahmu.
Angin malam sepoi-sepoi terasa mulai dingin. Mataku mulai mengantuk. Kau menyelimuti bahuku dengan sehelai selendang. Â Senyummu mengiringi mataku yang perlahan memejam.
Tiba-tiba aku dikagetkan suara gendang dan teriakan. "Sahur....sahur,"
Lho, bukannya tadi sahur sudah lewat. Aku menajamkan telingaku. Kok suara tamburnya berbeda. Kali ini ditambah suara kaleng dan canda tawa anak-anak kampung. Aku terlonjak. Mataku mencari dirimu. Kau telah menghilang. Bantal dan guling menjadi penggantinya. Lama baru kusadari. Aku ternyata berada di kamarku sendiri. Di sini, di Indonesia.
"Ah." aku mendesah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H