Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Semalam di Istanbul

14 Juni 2016   02:58 Diperbarui: 14 Juni 2016   09:26 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istanbul di waktu malam (dok.pribadi)

Walau baru mendarat siang tadi, aku tidak merasa lelah. Mungkin ini karena senyum manismu yang merekah ketika aku tiba, yang mebuat aku berbunga-bunga. Dengan canggung kau menarik tanganku melewati puluhan penumpang yang wira wiri di lobby bandara Ataturk Havalimani. Ah, aku merasa seperti remaja yang baru pertama kali jatuh cinta.

Kita tak membuang waktu untuk melampiaskan rindu. Sore itu juga kau mengajak aku keluar jalan jalan ke Taksim Square. Seperti biasa, di bulan Ramadan ada bazar yang menjual aneka produk kerajinan rakyat Turki. Aku senang melihat-lihat dan kau selalu di sisi menemani sambil menggoda. Apalagi jika aku mengagumi benda yang menurutmu biasa saja.

"Sudah mau adzan maghrib. Ayo kita cari tempat berbuka puasa," kau mengingatkan.

Aku pun berhenti menyusuri booth-booth yang berjejer rapi. Kita pun mencari toko makanan, membeli  sejenis kebab dan dua botol minuman.  Kau mengajak aku duduk di dekat taman, menghadap ke jalan. Ah, berapa lama aku mendambakan saat-saat seperti ini, duduk berdua denganmu. Diamdiam kulirik wajahmu dengan dagu kebiruan karena habis bercukur.

"Kenapa?" tanyamu.

"Ah, nggak," aku tersipu kepergok memperhatikanmu. Kau menyodorkan makanan dan minuman yang sudah disiapkan.

Senja masih datang malu-malu ketika adzan berkumandang. Kita pun membaca doa berbuka bersama, lalu memakan bekal perlahan sambil saling memandang. Rindu tertumpah. Tunai sudah  angan-angan tentangmu. Tinggal bagaimana merajut asa yang hampir putus dimakan waktu. Tatapan matamu mengurai sendu yang selama ini menggayut di hatiku.

"Kita sholat di masjid," ajaknya.

Maka kebersamaan kita berlanjut dalam untaian doa. Berjamaah dalam hati dan jiwa. Sungguh aku bersyukur telah mendapat kesempatan menemukan cinta yang hilang di kota legenda ini. Mencari pelabuhan hati dalam wujud dirimu.

Dan kita tak bisa tidur, meski malam telah membelah. Kita berdua menghitung bintang-bintang di balkon rumah. 

"Bagaimana kalau kita menunggu Lailatul Qadar bersama?" bisikmu.

Aku mengangguk haru,"Ya, kita berzikir bersama sampai masa itu tiba,"

Kau pun tersenyum, mengulurkan tangan dan menggenggam erat jemariku. "Aku ingin ke surga bersamamu".

Suara tambur mengagetkan kita berdua. Beberapa orang menggetarkan malam dengan bunyi tambur menggelegar untuk membangunkan orang-orang. Ah masih dini hari. Tetapi begitulah kebiasaan mereka dalam bersahur. Mereka menabuh sambil memekik, hingga tak ada yang tidak terbangun. Kau beranjak untuk menyiapkan makanan.

Seluruh keluarga makan di dalam ruangan karena balkon menjadi tempat kita berdua. Tak ada yang sampai hati mengganggu kebersamaan kita.  Malah mereka segera tertidur kembali setelah menyantap habis masakan di meja. Kita tak peduli, kembali menghitung bintang-bintang hingga bergeser dari langit.

"Biarlah malam ini menjadi saksi, bahwa kita bersatu kembali," desahmu.

Angin malam sepoi-sepoi terasa mulai dingin. Mataku mulai mengantuk. Kau menyelimuti bahuku dengan sehelai selendang.  Senyummu mengiringi mataku yang perlahan memejam.

Tiba-tiba aku dikagetkan suara gendang dan teriakan. "Sahur....sahur,"

Lho, bukannya tadi sahur sudah lewat. Aku menajamkan telingaku. Kok suara tamburnya berbeda. Kali ini ditambah suara kaleng dan canda tawa anak-anak kampung. Aku terlonjak. Mataku mencari dirimu. Kau telah menghilang. Bantal dan guling menjadi penggantinya. Lama baru kusadari. Aku ternyata berada di kamarku sendiri. Di sini, di Indonesia.

"Ah." aku mendesah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun