Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Baduy, Antara Masa Lalu dan Masa Kini

2 April 2016   21:41 Diperbarui: 3 April 2016   20:40 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="tampak rumah tradisional kampung Baduy luar (dok.pribadi)"][/caption]

Pertama mengenal suku Baduy sudah puluhan tahun yang lalu, ketika masih menjadi mahasiswa. Kala itu Baduy adalah tempat yang menarik untuk dijelajahi bersama teman-teman pecinta alam. Kami hanya bisa naik angkutan sambung menyambung. Ada yang naik bus dari terminal Kampung Rambutan, ada juga yang dari terminal lain. Sedangkan kami memutuskan menyetop bus dari perempatan Tomang ke arah Banten.

Tidak banyak yang teringat dengan baik, maklum daya ingat sudah termakan usia. Namun untuk menuju ke sana, kami harus berjalan kaki beberapa kilometer. Tujuan kami adalah perkampungan Baduy Luar, karena pada saat itu masih sulit untuk mengunjungi Baduy Dalam. Tidak mudah perjalanan, tetapi juga tidak terlalu sulit karena anak-anak pecinta alam sudah biasa menjelajah hutan. Kami juga harus melalui undak-undakan yang hanya ditambah batang-batang bambu agar kuat.

Pada saat itu, perkampungan Baduy luar belum banyak menjadi sorotan pemerintah. Kebanyakan pengunjung yang datang karena berita dari mulut ke mulut. Terutama orang-orang yang senang melakukan petualangan. Kami senang mendapati perumahan tradisional dengan penduduk yang sangat ramah. Mereka berpakaian hitam-hitam, laki-laki mengenakan ikat kepala/blangkon yang bentuknya khas, sedangkan perempuannya mengenakan kemben. Perkampungan ini mengingatkan saya pada Kampung Naga di sekitar Tasikmalaya, suasana nyaris sama.

Mata pencaharian mereka adalah bertani atau berkebun  dengan tetap menjaga keseimbangan alam. Tidak ada penebangan pohon yang sembarangan. Mereka mencintai alam lebih dari kami para pecinta alam. Padahal kepercayaan mereka masih animisme, tidak mengenal agama sebagaimana yang diakui negara. Tetapi mereka adalah orang Indonesia, saudara kita juga.  Tidak banyak barang-barang yang mereka miliki, belum ada benda-benda elektronik yang mencerminkan modernisasi. Selain itu, mereka juga membuat kerajinan tangan. Misalnya tas, yang berbentuk seperti jaring ikan. Satu hal yang pasti, kami merasa damai dan tenang di sana. Sayangnya, waktu kami tidak banyak, kami tidak bisa bermalam di sana.

Beberapa tahun kemudian saya pernah melihat ada laki-laki Baduy berjalan sendirian di jalan raya ibukota. Ia bertelanjang kaki di atas aspal yang cukup panas pada siang hari. Pakaiannya sama, hitam-hitam dan menyandang sebuah botol madu. Setahu saya, dalam suku Baduy ada adat yang mengharuskan seorang laki-laki keluar dari perkampungan untuk merantau beberapa hari dengan berjalan kaki. Bekalnya hanya madu, yang bisa dijual jika ia membutuhan uang atau makanan.

 

Baduy masa kini

Seiring dengan wakttu yang berjalan, timbul keinginan untuk kembali menjenguk ketenangan di perkampungan Baduy. Perkembangan pariwisata yang mengikuti kemajuan teknologi telah menjadikan Baduy semakin populer. Baduy telah banyak diketahui dan dikenal masyarakat umum. Bahkan sekarang ada biro/agen travel yang mempunyai paket wisata ke sana. Akses menuju tempat tersebut pun semakin terbuka dan banyak pilihan. KIra-kira dua tahun lalu hasrat untuk kembalitelah  terpenuhi.

Bagaimana pun juga, menjelajah bersama teman-teman lebih menyenangkn daripada mengikuti paket wisata dari biro travel. Kali ini turut rombongan adik-adik mahasiswa dari sebuah universitas negeri di Jakarta Selatan.  Kebetulan kami berangkat ke sana dari Lebak. Setelah naik angkutan selama 40 menit, disambung dengan jalan kaki selama kurang lebih satu setengah jam. Maka perkampungan Baduy tidak lama lagi terlihat.

[caption caption="jembatan bambu yang memisahkan kampung Baduy (dok.pribadi)"]

[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun