Restoran Parc de Ville
Restoran yang terletak di lantai tiga hotel ini sekilas sama saja seperti di hotel-hotel lainnya. Di tengah-tengah ruangan adalah tempat menyajikan aneka masakan. Ada masakan ala Barat dan ada pula kuliner asli Indonesia. Namun yang istimewa adalah cita rasanya yang terjamin kelezatannya. Ketika kami mencicipi makanan sesuai selera masing-masing, rasanya begitu menggugah selera. Kalu tidak ingat untuk menjaga berat badan, bisa-bisa kami makan terus menerus. Bahkan daun pepaya saja yang menjadi lalapan bareng labu rebus, terasa enak dan tidak pahit.
Walau begitu, harga makanan-makanan itu tidak menguras kantong. Anda dapat menikmati sarapan atau makan siang tidak lebih dari 90 ribu rupiah tanpa batasan porsi, dari main menu hingga dessert. Semua harga di hotel ini sudah net lho, tidak ada tambahan pajak yang dibebankan pada pengunjung. Harga yang relatif murah untuk hotel sekelas bintang empat. Anda tidak akan menemukannya pada hotel bertaraf sama.
Hebatnya, makan di hotel ini berhadiah menggiurkan. Setiap kali kita makan di restoran ini senilai 250 ribu Rupiah, akan mendapatkan satu voucher. Pada bulan Januari 2017, akan dilakukan pengundian. Jika beruntung, maka bisa menggondol sebuah mobil keren, Honda Brio. Menarik bukan?
[caption caption="Penyajian makanan di restoran (dok.pribadi)"]
Agrowisata ke perkebunan dan pabrik teh Malabar
Sebuah paket wisata juga ditawarkan oleh Best Western Premier La Grande Hotel, yakni melakukan agrowisata ke perkebunan dan pabrik teh Malabar. Pihak hotel telah menjalin kerjasama yang baik dengan PTPN VIII ini untu paket wisata tersebut. Jadi, tamu hotel yang lebih menyukai agrowisata, bisa jalan-jalan ke tempat yang menyegarkan di kawasan perkebunan. Sebagaimana yang kami lakukan bersama manajemen hotel.
Dari hotel, kami berangkat sekitar pukul tujuh pagi sesudah sarapan. Dengan sebuah bus mini, kami menyusuri jalanan Bandung, lalu ke arah pegunungan dimana terletak perkebunan dan pabrik teh Malabar. Pertama kali tiba, kami dipandu ke dalam pabrik teh yang sudah berusia lebih dari satu abad. Maklum pabrik ini telah berdiri sejak zaman Belanda di bawah pemerintahan Booscha yang membawahi kawasan Bandung dan sekitarnya. Kita bisa melihat dokumentasi foto-foto kuno yang tergantung di dinding pabrik, yang menggambarkan aktivitas di area pabrik.
[caption caption="Memasuki area pabrik teh (dok.pribadi)"]
Di pabrik itu kami menyaksikan bagaimana daun-daun teh diproses. Setelah dipetik, daun-daun tersebut dilayukan. Kemudian daun-daun itu disortir dan masuk ke dalam penggilingan. Saya takjub melihat bagaimana mesin-mesin tua itu masih bekerja dengan baik untuk menghasilkan daun-daun teh yang diinginkan. Bau harum teh memenuhi seluruh ruangan di pabrik yang membuat kita merasa segar dan bersemangat.
Di salah satu ruang kontrol, ada pengujian beberapa jenis teh. Ternyata teh hasil pabrik ini berkualitas premiun. Sebagian diekspor ke luar negeri. Saya baru tahu kalau white tea juga berasal dari pabrik ini. Sedangkan untuk pasaran dalam negeri, kita mengenal teh yang bermerek Walini. Di sana kami disuguhi teh hangat segar yang langsung diseduh dari daun-daun teh pilihan. Ada sensasi tersendiri ketika kita mereguk teh di tempat asalnya, di tengah pabriknya.