Golkar pecah, tampaknya sudah menjadi tradisi sejak reformasi bergulir tahun 1998. Pada zaman Orde Baru, memang hanya ada tiga partai yaitu Golkar, PDI dan PPP. Partai terbesar adalah Golkar, karena partai ini adalah pendukung pemerintahan Orde Baru yang dikendalikan sepenuhnya oleh Soeharto. Karena tak boleh ada partai lain, maka tubuh Golkar dipenuhi oleh berbagai macam golongan.
Meski dikendalikan oleh Soeharto, bukan berarti tak ada orang-orang yang idealis di dalam partai ini. Hanya saja, selama Soeharto masih hidup, mereka tidak berani menyuarakan secara langsung. Resikonya terlalu berat, bisa 'dihilangkan secara misterius'. Siapa pun yang mencoba membangkang, akan segera diketahui dan di-black list oleh penguasa.
Lengsernya Soeharto menimbulkan gejolak pada partai berlambang beringin tersebut. Orang-orang yang termasuk golongan 'merah putih' mulai berani menunjukkan diri. Mereka ingin sekali melakukan perubahan agar Golkar tidak dibenci rakyat. Maka pada Munas 1998, golongan ini ikut bertarung memperebutkan kepemimpinan di tubuh Golkar. Calon yang diajukan adalah Edi Sudradjat, mantan Pangkopkamtib di era Soeharto. Orang-orang yang mendukung beliau adalah Tatto Pradjamanggala, David Napitupulu, Siswono Yudohusodo, Sarwono Kusumaatmaja dan Try Sutrisno (mantan Wakil Presiden).
Proses Munas ternyata penuh dengan permainan kotor. Orang-orang yang ingin mempertahankan kekuasaan di masa Soeharto, tidak ingin golongan lain memegang tampuk pimpinan. Di atas kertas, seharusnya Edi Sudradjat memenangkan pertarungan dan menjadi Ketua Umum Golkar. Namun karena permainan licik, ia berhasil disingkirkan. Selanjutnya Edi Sudrajat bersama para pendukungnya tidak tahan berada di dalam Golkar. Mereka akhirnya mendirikan partai baru pada tanggal 15 Januari 1999 yaitu PKP (Partai Keadilan dan Persatuan) dengan Ketua Umum Edi Sudradjat.
Golkar pecah lagi pada tahun 2002. Justru putri kandung Soeharto, yaitu Siti Herdiyanti Rukmana, atau lebih dikenal dengan mbak Tutut, dan para pendukungnya mendirikan PKPB (Partai Karya Peduli Bangsa). Ketua Umumnya adalah R Hartono, mantan KSAD dan Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Pembangunan VII. Rupanya mbak Tutut ingin menjadi Presiden. Partai ini mengusung mbak Tutut sebagai Calon Presiden.
Sebagai partai warisan Orde Baru, Golkar masih bisa bertahan. Ini akibat mereka telah berhasil menanamkan antek-anteknya hingga jajaran terendah yaitu pedesaan. Dengan berbagai cara, meski sering ditengarai melakukan kecurangan, Golkar tetap mendulang suara yang cukup tinggi. tetapi satu kenyataan tak bisa dipungkiri, suara Golkar menurun dari  setiap Pemilu. Menurunnya suara Golkar, karena banyaknya partai baru yang mau tak mau juga menggerogoti partai ini. Belum lagi masih ada saja pergolakan di partai berlambang beringin ini.
Pecah Berlanjut
Golkar pecah lagi pada Munas 2010 yang diselenggarakan di Pekan Baru, Riau. Waktu itu ada dua calon yang sangat kuat sebagai Ketua Umum yaitu ARB (Abu Rizal Bakrie) dan Surya Paloh. Pertarungan antara kedua kubu sangat kuat. Namun sekali lagi, permainan licik gaya Orde Baru digunakan. Surya Paloh tersingkir dan Ical berhasil merebut jabatan Ketua Umum Golkar. Â Sebuah kemenangan yang menjadi tanda tanya karena kabar burung mengatakan, selama Munas berlangsung, kubu Ical melakukan teror dan pembagian uang.
Kita ketahui kemudian Surya Paloh mendirikan ormas Nasdem yang menjadi landasan untuk sebuah partai baru. Surya Paloh berhasil menjadikan Nasdem sebagai Partai Baru yang langsung menggebrak pada Pemilu 2014 yang lalu. Keluarnya Surya Paloh dari Golkar tidak meredam gejolak  di dalam tubuh partai ini, karena masih ada orang-orang yang berusaha bertahan. Mereka bagai bisul yang akan pecah jika situasi dan kondisi memaksa.
Keterlibatan Ical dalam KMP (Koalisi Merah Putih) menjadikan dia memiliki posisi yang rentan. Jika dia tidak menjadi Ketua Umum lagi, maka Golkar akan diambil alih orang-orang yang mendukung Presiden Jokowi. Hal ini sangat tidak dikehendaki oleh KMP. Ical harus tetap menjadi Ketum Golkar agar KMP solid. Â Maka Ical memaksakan Munas di Bali pada akhir Nopember lalu. Namun penyelenggaraan Munas di Bali penuh cacat karena kubu Agung laksono yang tergabung dalam Presidium Penyelamat Golkar dilarang masuk. beberapa ormas seperti MKGR dan Ampi juga tidak diperbolehkan hadir. Â Permainan kotor kembali terdengar, apalagi ada bukti rekaman Nurdin Halid yang memaksa DPD-DPD untuk memilih Ical. Sudah dapat diduga, Ical menjadi Ketua Umum lagi dalam Munas versi Bali. Â Tokoh-tokoh KMP hadir sebagai kepastian dukungan terhadap Ical dan juga memberi kepastian keterlibatan mereka pada pemenangan Ical.
Menunggu Pecah Bisul
Agung Laksono CS tentu tidak tinggal diam. Â Mereka menganggap Ical tidak pantas lagi menjadi Ketua Umum Golkar karena sudah mengalami kegagalan yang cukup fatal. Ical tidak berhasil menjadi Presiden dan suara Golkar juga turun drastis. Ical adalah sosok yang kontroversial, karena khalayak umum juga mengetahui bahwa kasus lumpur Lapindo yang menyengsarakan ribuan rakyat Sidoarjo adalah tanggung jawabnya. Belum lagi kasus-kasus lagi yang melibatkan nama Ical. Jika ada orang yang menganggap Golkar akan menjadi besar di bawah kepemimpinan Ical, itu adalah mimpi di siang bolong.
Kubu Agung Laksono sudah menduduki kantor DPP Golkar sejak Munas di Bali berlangsung. Mereka merencanakan akan menyelenggarakan Munas Golkar versi lain pada awal tahun depan. Meski Ical berniat merebut kembali kantor tersebut dengan menggerakkan Bamus Betawi, kubu Agung laksono tidak surut langkah. Mereka akan mempertahankan kantor tersebut dan melanjutkan rencana penyelenggaraan Munas Golkar di Jakarta. Kabar terakhir, mereka mempercepat Munas malam ini dengan pengawalan ketat dari polisi.
Kita masih berhitung, belum bisa melihat siapa yang menang atau siapa yang kalah. Yang jelas satu bisul besar akan pecah dalam waktu dekat. Entah itu akan melahirkan partai yang baru atau menjadi sebuah partai tandingan sebagaimana yang terjadi pada PPP. Pertarungan kali ini tampaknya akan lebih sengit. Kedua kubu masing-masing melaporkan lawannya kepada polisi. Sesungguhnya ini adalah masalah pelik dinamika partai. Mungkin kita hanya bisa menonton dan menyaksikan sebuah pertunjukan politik sampai habis. Adakah ini akan berpengaruh pada kehidupan berbangsa dan bernegara?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H