Mohon tunggu...
Empong Nurlaela
Empong Nurlaela Mohon Tunggu... Guru - Guru

Hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Pilihan Langit (Kabur di Malam Pernikahan Bagian 9)

28 November 2024   12:52 Diperbarui: 28 November 2024   13:07 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabur di Malam Pernikahan
Bagian 9

"Bang, tolong kembalikan gulingku!" Aku berdiri di sampingnya dengan tatapan penuh kecurigaan.


"Lo, aku enggak tahu gulingmu di mana? Nih, ada gulingku kalau mau!" Alif memberikan guling berwarna cokelat polos.


"Abang, sekali lagi aku tegasin. Disembunyiin di mana gulingku?!"


"Nih, ambil di sini!" Alif bangkit dari tempat tidur, lalu duduk di bibir ranjang.


Aku mencari guling di belakang punggung Alif, kemudian tiarap menyisir kolong tempat tidur. Nihil.


"Bang, aku udah capek nyari. Tolong tunjukin di mana gulingnya," ucapku sembari mengelap keringat dengan ujung kerudung.


"Aku bilang di sini. Di hatiku." Alif menarik tanganku, kemudian meletakkan di dadanya. Sejenak aku merasakan degupan jantungnya yang berirama. Untung kesadaranku kembali dengan cepat.


Aku menarik tanganku, lalu melangkah menuju sofa dengan mengentakkan kaki. Kesal.


"Kamu bercandanya keterlaluan, aku 'kan enggak bisa tidur tanpa guling itu." Air mataku lolos berjatuhan.


Alif terkesiap melihatku. Mungkin dia tidak menyangka, apa yang dilakukannya telah membuat seorang Tiara terluka.
"Ti-Tiara, maaf tadi bercandaku kelewatan ya!"


Aku diam memboikot bibir.


"Ya sudah, tadi gulingnya disimpan di mana?" Suara Alif terdengar lembut.
"Di bagasi. Aduh, Bang. Gulingku ketinggalan dibagasi." Aku menepuk jidat.


"Tuh, makanya jangan suuzan dulu sama orang lain," tutur Alif sembari merebahkan badannya kembali.


 "Iya deh maaf. Tolong ambilin gulingnya dong, Bang!" rayuku.


Alif memicingkan mata, sepertinya dia berfikir dulu.


Aku menggerutu dalam hati, ya ampun Abang ... diminta segitu aja pake mikir dulu. Apalagi disuruh ngambil edelweiss di puncak gunung.


"Hmm ... tuh ambil kunci mobilnya di atas nakas!" titahnya.


"Bang, mana bisa atuh aku pake konci mobil." Aku mengerucutkan bibir.


"Ya udah, aku ambilin, tapi ada satu syarat." Alif mengacunkan jari telujuk sembari menaik turukan alisnya.


Aku bergidig. "Asal jangan yang mesum syaratnya," ucapku.


"Enggak, ayo sini! Aku bisikin syaratnya."


"Di sini saja, enggak usah bisik-bisik. Enggak bakalan ada yang denger, kok." Aku bergeming.


"Ya udah aku tidur duluan," ujarnya sembari memakai selimut.


Dengan terpaksa aku mendekat, lalu duduk di samping Alif.


Alif beringsut, hendak membuka bajunya. Aku menutup wajah dengan tangan. Alif tertawa kecil melihat tingkahku.
"Kamu kenapa?"


"Pake lagi bajunya, kalau enggak aku kabur nih."


"Ya sudah kabur aja, aku cuman ngingetin aja tiga hari yang lalu ada yang meninggal. Tertabrak mobil truk. Katanya arwahnya gentayangan."Ucapan Alif membuat bulu kudukku meremang.


"Ya sudah apa syaratnya?" aku terpaksa mengalah.


"Syaratnya pijitin aku, perjalanan Subang-Jakarta membuat badanku pegal-pegal," bisiknya.


" Ya ampun abang, nyuruh mijit aja, pake drama dulu. Ya udah gampang syaratnya, asal jangan buka baju!"


Alif  terkekeh sembari membenahi kausnya, kemudian tidur telungkup.
Perlahan aku memijit punggungnya.
"Pijitan luar kamu enak juga, apalagi pijitan dalamnya."


Aku mencubit punggung Alif. Dia mengaduh. Rasain bicaranya mesum mulu.


Terdengar dengkuran halus Alif. Aku menghentikan pijitan, lalu melihat ke samping kiri, Tampak Alif tertidur pulas.
Aku menghela napas lega. Setidaknya Alif tidak akan menggangguku selama tidur. Aku mengambil bantal dan guling miliknya, lalu merebahkan diri senyaman mungkin di sofa.

Pengaruh Ac yang dingin, membuat tubuh ini menggigil. Walaupun di pabrik terbiasa dengan AC, tapi kalau tidur serasa tak nyaman. Aku teringat penjelesan Keyla tadi cara mematikan AC. Ku ambil remot kecil itu di atas nakas, lalu menekan tombol off.

Perlahan aku memejamkan mata sembari memeluk guling. Berharap bisa mengukir mimpi yang indah malam ini, tak seperti malam-malam kemarin yang buruk.

Malam yang indah penuh hiasan bintang-bintang. Rembulan bersinar sangat trerang. Mungkinkah ini sudah purnama lagi? Aku lupa tanggal Hijriyah, tapi kurasakan malam ini benar-benar indah. Tidur di sofa ini serasa berbaring di awan. Begitu lembut dan nyaman..

Aku terbangun begitu mendengar sura azan dalam keadaan memeluk guling. Perasaan ada Sesuatu yang aneh. Aku terperanjat mendapatkan diri tertidur di ranjang Alif dengan memeluk guling kesayangan.


"Alhamdulillah sudah bangun rupanya, tadinya mau aku bangunin."


Aku melirik sumber suara. Tampak alif sudah rapi, sepertinya hendak berangkat ke mesjid.


"Bang, kenapa aku ada di sini?" tanyaku heran.
Alif tersenyum. "semalam, aku ambilin guling kamu, lalu lihat kamu sempat akan terjatuh dari sofa, kasihan. Jadi, aku pindahin ke ranjang.

"Ka-kamu pindahin aku pakai apa?"
"Ya, aku boponglah! Masa pake remot!" Alif terkekeh menjawab pertanyaanku yang mungkin menurutnya kurang bermutu.

"Te-terus kita tidur berdua di sini?" aku meraba-raba tubuh, memastikan tidak ada yang kurang. Soalnya sedikitpun, diri ini tidak ingat apa yang terjadi semalam.

"Tenang, semalam aku tidur di ruang tengah. Habis di sini gerah. Ac-nya kamu matiin?"

"Oh ... syukurlah!" Aku menghela napas lega.

"ngomong-ngomong, badan kamu berat juga, bayik," selorohnya sembari bergegas keluar kamar dengangan mengucapakan salam.

Aku menjawab salam sambil mengerutkan kening, seperti ada yang janggal denagan kata-kata Alif. Berat dan bayik.

 ''Aliiif!" Aku memukul guling seolah-olah memukul suamiku. Eh suami? Maksudnya temanku yang sedikit menyebalkan.

Untung kesadaranku segara pulih. Gegas aku mengambil air wudhu, kemudian berderap ke musala untuk berjamaah Subuh dengan Keyla dan Bu Merry. Kalau ketinggalan, nanti citraku akan jauh lebih buruk di mata mertua.

***

Sekitar jam enam pagi setelah sarapan, Alif pamit pergi ke kampus. Sebelum pergi dia mengulurkan tangan. Aku melirilik Bu merry yang seperti biasa kaku dan Keyla yang kelihatan baper. Kalau menolak apa kata mereka dan dunia? Dengan cepat aku mencium tangan Alif, lalu melepaskannya.

Keyla mencium tanganku sembari pamit pergi ke kampus. Dia berbisik agar aku bersabar menunggu di rumah, karena adiknya Alif itu akan segera pulang siang nanti.

 Pun dengan Bu Merry yang pamit dengan pakain kerjanya. Dilihat dari seragamnya aku memperkirakan beliau masih bekerja sebagai guru. Seperti yang pernah diceritakan Alif waktu kecil tentang pekerjaan bundanya.

Sekarang, tinggal aku sendiri di rumah berteman sepi tanpa ada yang menemani. Lebay dikit boleh, 'kan?

Setelah pekerjaan rumah beres, aku memilih untuk istirahat berbaring meluruskan otot-otot yang sedikit lelah. Aku menyandarkan punggung di kepala ranjang sambil memainkan ponsel. Ingin rasanya berselancar di dunia maya. 

Namun, aku masih takut di beranda masih bermunculan tentang berita pernikahanku. Aku yakin ceritaku pasti viral bukan hanya di kampung Cilimus melainkan sampai ke seluruh desa di kecamatan Cijeruk. Sampai saat ini, aku belum berani membuka aplikasi chat.

Aku menahan diri, memilih menyimpan benda pipih itu kembali di atas nakas. Kemudian, mengambil buku hadiah dari Alif di dalam ransel. Gegas aku membukanya sembari menyandarkan punggung kembali di kepala ranjang.

Lembaran awal bukunya saja sudah membuatku senyum-senyum sendiri. Geli. halamam selanjutnya berisi tentang hak dan kewajiban seorang suami terhadap istri serta sebaliknya.

Sampai di halaman berikutnya, aku memilih menyelipkan pembatas halaman buku, lalu menutupnya. Bab tersebut berjudul tentang etika dan tata cara malam pertama. Membaca judulnya saja sudah membuat bulu kuduk merinding, apalagi kalau dibaca seluruh isinya, bisa-bisa aku ketularan mesumnya Alif.

Aku teringat buku-buku di perpustakaan mini milik Alif. Gegas aku berderap ke sana. Netra tiba-tiba terpaku pada sebuah meja di sudut sebelah timur perpustakaan.

Aku melangkah mendekati meja yang sepertinya sering dipakai Alif bekerja. Terlihat dari berkas-berkas yang tersusun rapi pada tiga buah kotak di depannya.

Ada yang menarik perhatian, sehingga membuatku terpaku cukup lama. Sebuah buku catatan mirip diary. Aku duduk di kursi sembari menatap buku tersebut. Perang batin dimulai, antara keinginan membuka dan tidak. Sisi baik mengatakan jangan, karena itu privacy orang lain. Sedangkan sisi buruk mengatakan buka, karena ingin tahu isi hati Alif, sebelum menikah denganku.

Akhirnya, dengan gemetar tangan ini menggapai buku catatan itu.

(Bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun