Oleh : Empi Muslion
Melekatnya status tersangka kepada Komjen Pol Budi Gunawan (BG) Calon Kapolri yang diajukan oleh Presiden Jokowi menjadi bola panas yang terus menggelinding, bahkan penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjoyanto oleh Bareskrim Polri dan perseteruan antara Plt.Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dengan Ketua KPK Abraham Samad ditengarai ada kaitannya dengan pemberian titel tersangka kepada BG.
Terkait tragedi yang menimpa BG, sebagian pihak ada yang mendukung BG ditetapkan menjadi Kapolri karena sudah memenuhi unsur administratif dan prosedur legal formal. Namun ada juga publik yang menolak dengan argumentasi etika penyelenggaraan negara, apalagi dikaitkan dalam kemasan visi nawa cita yang bernafaskan revolusi mental yang diusung Jokowi saat kampanye nan lalu.
Sebenarnya jika dilihat dalam alur normal maupun legal formal, pergantian pejabat pemerintahan dibidang eksekutif yang berada dibawah lembaga kepresidenan adalah hal yang lumrah dan biasa saja, begitupun dalam sebuah unit organisasi pemerintahan, hal yang berhubungan dengan kegiatan mutasi, rotasi, promosi maupun amputasi dalam koridor peningkatan kinerja organisasi dan pemberian reward and punishment adalah hal yang sudah menjadi pakaian sehari-hari abdi negara dan abdi masyarakat yang bernaung dibawah panji yang bernama aparatur negara, apakah itu PNS (sekarang ASN), Polri maupun TNI.
Begitupun dalam kasus pergantian Kapolri Jenderal Polisi Sutarman ke calon penggantinya BG yang saat ini menjadi ramai, akar permasalahannya bukanlah didasari atas unsur politis apalagi faktor dendam kesumat, ini adalah murni faktor kealpaan dalam pengelolaan negara yang telah melenceng dari pakem konsistensi dan komunikasi antar lembaga negara.
Sebagaimana kita lihat dan dengar bersama di media, Presiden Jokowi menegaskan bahwa pengajuan pencalonan BG adalah murni Beliau menggunakan hak prerogatifnya selaku Presiden, dan itu adalah hak Beliau sepenuhnya dan didasari oleh aturan hukum. Yang menjadi pertanyaan besar ditengah masyarakat adalah, yakni turbulensi sendiri yang dilakukan oleh Presiden Jokowi saat membentuk tim work-nya, yang mana saat Presiden menggodok tim kabinetnya tempo hari, Presiden mereduksi sendiri hak prerogatifnya, saat itu Presiden Jokowi juga banyak mendapat tanggapan pro dan kontra ditengah masyarakat,  tetapi sebagian besar publik menerima dan mengapresiasi langkah sang presiden mengajak PPATK dan KPK untuk menyortir track record tim kabinetnya sebelum menjadi tim yang bernafaskan reformasi mentalnya sang presiden.
Inkonsistensi Presiden dan KPK
Jika Presiden Jokowi dan KPK mau berinstropeksi, hebohnya kasus BG ini tiada lain adalah kendornya konsistensi dan komunikasi antar lembaga. Jika Presiden Jokowi konsisten dengan semangat dan prinsipnya dalam menentukan pejabat-pejabat strategis bagi penyelenggaraan negara ini harus diseleksi track recordnya terlebih dahulu, dengan meminta masukan dari lembaga yang sesuai bidangnya seperti PPATK dan KPK, maka selayaknya prosedur seperti itu juga dilakukan secara konsisten terutama bagi lembaga-lembaga yang strategis dan menjadi perhatian publik, apalagi institusi seperti Polri yang sarat dengan sorotan masyarakat.
Sehingga kesan memainkan teori gelang karet atau bak pisau bermata dua dalam penyelenggaraan pemerintahannya tidak muncul, yakni disaat desakan berbagai partai penggusung dan berbagai elemen penyokong Jokowi-Jk begitu keras tekanannya, maka Presiden Jokowi menggunakan tangan PPATK dan KPK untuk melemaskan otot para penekannya. Namun disaat tekanan itu mulai mengendor maka Presiden Jokowi mengesampingkan lembaga yang telah membantunya dalam menetralisir kuatnya arus tekanan.
Maka jika muncul persepsi PPATK dan KPK hanya dijadikan alat yang bersifat temporer tergantung kepentingan pengguna juga tidaklah salah, maka jugalah wajar jika PPATK dan KPK meradang, meraka merasa hanya diperlakukan ketika ada maunya sang Presiden saja.
Namun bagi KPK, begitupun sebaliknya, adalah wajar jika publik memberikan tanggapan negatif seolah-olah KPK sudah masuk keareal politik praktis, walaupun secara normatif, tidak ada hukum yang dilanggar dan sah-sah saja menetapkan tersangka bagi siapa saja jika sudah cukup alat buktinya.