Mohon tunggu...
bungtomo
bungtomo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Prestasi Empat Menkeu di Bidang Penerimaan Pajak

29 Desember 2015   16:52 Diperbarui: 29 Desember 2015   17:25 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selama satu dekade (10 tahun) terakhir ini, Indonesia patut bersyukur dapat mempunyai empat Menteri Keuangan yang berintegritas dan memiliki prestasi dan kinerja baik dalam mengelola perekonomian.  Keempat orang itu adalah Sri Mulyani, Agus Martowardojo, Chatib Basri, dan Bambang PS Brodjonegoro. Mereka dihadapkan pada permasalahan ekonominya yang berbeda pada zamannya masing-masing dan bisa dikatakan berhasil mengatasinya.

Tulisan saya ini mencoba untuk sedikit menganalisa bagaimana prestasi keempat Menteri Keuangan tersebut di bidang penerimaan pajak. Pajak yang saya maksud di sini adalah pajak, bukan perpajakan (termasuk penerimaan bea dan cukai).

Tentu saja, prestasi penerimaan pajak tidak hanya tergantung pada sosok kepemimpinan seseorang, melainkan kulminasi dan resultan dari berbagai faktor, seperti pertumbuhan ekonomi nasional dan global, etos kerja jajaran Direktorat Jenderal Pajak, harga minyak, dan nilai tukar rupiah.

Meski tidak memasukkan seluruh faktor determinan tersebut, saya mencoba melihat secara sederhana berdasarkan fakta dan data pencapaian realisasi penerimaan pajak beserta pertumbuhannya secara nominal. (Lihat Tabel).

Saya mulai dari prestasi Sri Mulyani, yang menjabat sejak 7 Desember 2005 hingga 20 Mei 2010. Pada tahun pertama dan keduanya, Sri Mulyani mampu menumbuhkan penerimaan pajak sebesar Rp 59,7 triliun dan Rp 67,2 triliun. Baru pada tahun ketiga, Sri Mulyani mampu mencetak rekor pertumbuhan penerimaan pajak sebesar Rp 145,7 triliun pada 2008. Itu pun terbantu karena naiknya harga komoditas yang gila-gilaan sehingga membuat harga saham Bumi Resources misalnya ketika itu mencapai Rp 8.000/saham sebelum kembali nyungsep di bawah Rp 100/saham saat ini. Belum lagi adanya sunset policy yang dijalankan oleh Sri Mulyani ketika itu. Dampaknya, pada 2008 jugalah realisasi penerimaan pajak mencapai 100%, mengulangi tahun 2004 yang sempat tercapai 100% juga.

Prestasi Sri Mulyani pada tahun ketiga sepertinya terlihat ‘istimewa’ dan ‘prestasi luar biasa’, padahal sebetulnya Sri Mulyani memperoleh blessing in disguise (berkat), berupa kenaikan harga komoditas batubara, kelapa sawit, timah, nikel, dan lain-lain yang membuat konsumsi masyarakat melonjak. Pertumbuhan ekonomi pada zaman Sri Mulyani juga terlihat tinggi, yakni 6% hingga 6,3%, sehingga tanpa extra effort sekalipun, penerimaan pajak secara nominal otomatis akan tumbuh fantastis.

Hal lainnya adalah tidak banyaknya stimulus fiskal (pajak) yang dikeluarkan pada 2008 (dibandingkan seperti tahun 2015). Stimulus fiskal ada, tapi tidak banyak, sehingga penerimaan pajak sudah pasti tidak akan tergerus oleh pengeluaran untuk insentif pajak.

Baru pada 2009, krisis ekonomi global yang dipicu krisis Subprime Mortgages di Amerika Serikat yang berdampak pada resesi dunia, membuat penerimaan pajak di bawah kepemimpinan Sri Mulyani turun Rp 26,6 triliun dari pencapaian 2008. Itu dengan catatan ekonomi Indonesia ketika itu masih tumbuh 4,6%. Hal ini semakin membuktikan bahwa Sri Mulyani pun tidak memiliki daya juang (extra effort) untuk bisa mengoptimalkan dan menaikkan penerimaan pajak.

Berikutnya, prestasi penghimpunan pajak Menkeu Agus Martowardojo yang menjabat sejak 20 Mei 2010 hingga 19 April 2013. Di tahun pertamanya, sepanjang 2010, Agus Martowardojo mampu menaikkan penerimaan pajak secara nominal sebesar Rp 83,7 triliun. Tahun kedua kenaikannya mencapai Rp 114,5 triliun dan tahun ketiga malah turun menjadi Rp 93,1 triliun.

Prestasi Agus Martowardojo yang mampu menaikkan penerimaan pajak secara nominal pada tahun keduanya tetap ditopang pertumbuhan ekonomi yang fantastis, bahkan mencetak rekor tertinggi bagi Indonesia sejak 1997-2015, yakni tumbuh sebesar 6,5%. Jadi, kembali lagi, pencapaian tersebut tidak menunjukkan adanya ekstra effort, apalagi di zaman Agus Martowardojo, tidak ada pengeluaran berupa insentif pajak/fiskal yang justru berdampak mengurangi potensi penerimaan pajak.

Menteri Keuangan ketiga adalah Chatib Basri, yang menjabat sejak 21 Mei 2013 hingga 20 Oktober 2014. Di zaman Chatib, penerimaan pajak secara nominal tumbuh biasa-biasa saja, yakni masing-masing Rp 85,6 triliun dan Rp 63,7 triliun. Tidak ada upaya extra effort dari Chatib Basri guna menggenjot penerimaan pajak. Chatib Basri juga sadar dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang turun di zamannya dari 5,8% tahun 2013 menjadi 5,02%, penurunan yang tajam bila dibandingkan dengan prestasi ketiga Menkeu lainnya.

Menkeu terakhir adalah Bambang PS Brodjonegoro, yang menjabat sejak 27 Oktober 2014 hingga kini. Di tahun pertama menjabat, penerimaan pajak secara nominal justru langsung melejit sebesar Rp 112,9 triliun, ini dengan asumsi realisasinya per tanggal 31 Desember 2015 nanti bisa mencapai Rp 1.098 triliun.

Tentu saja prestasi penerimaan pajak Bambang Brodjonegoro di tahun pertamanya terbilang luar biasa. Dari sisi pertumbuhan ekonominya, situasinya hampir sama dengan zaman Sri Mulyani tahun 2009 yang ketika itu tumbuh 4,6% dan di zaman Bambang Brodjonegoro ekonomi Indonesia tumbuh 4,73% hingga kuartal III-2015. Meski angka pertumbuhan ekonominya tidak berselisih jauh, penerimaan pajaknya justru bertolak belakang, yakni di zaman Sri Mulyani turun minus Rp 26,6 triliun dan di zaman Bambang Brodjonegoro melonjak Rp 112,9 triliun,

Prestasi penerimaan pajak di tahun pertama Bambang Brodjonegoro sebagai menkeu juga terbilang luar biasa. Dengan kenaikan angka penerimaan pajak Rp 112,9 triliun, itu berarti dua kali lipat dari pencapaian yang dilakukan oleh Sri Mulyani di tahun pertama maupun tahun keduanya serta tahun pertamanya Agus Martowardojo.

Ini menandakan Bambang Brodjonegoro langsung bekerja ‘ngebut’ dan tidak santai. Semuanya tercermin dari angka-angka di atas. Belum lagi yang membuat penerimaan pajak di tahun pertamanya Bambang Brodjonegoro sebagai Menkeu terbilang luar biasa adalah banyaknya insentif pajak yang dikeluarkannya.

Padahal, orang awam sekalipun sadar bahwa insentif pajak akan menggerus penerimaan pajak. Tapi Bambang Brodjonegoro tetap mengeluarkan insentif pajak, mulai dari kenaikan ambang batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) sebesar 48% atau Rp 36 juta/tahun untuk Pajak Penghasilan bagi pekerja. Lalu, ada insentif (diskon) pajak tax allowance, tax holiday, insentif untuk Kawasan Ekonomi Khusus, diskons pajak revaluasi aset, keringanan pajak REITs, dan keringanan pajak untuk industri padat karya.

Hal ini harus dilakukan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Hasilnya pun kelihatan, dengan pertumbuhan ekonomi yang berhasil ditahan tidak merosot lagi.

Dengan prestasi di tahun pertamanya yang mampu menaikkan penerimaan pajak 2015, bahkan melampaui 2014 yang pertumbuhan ekonominya lebih tinggi, memperlihatkan kapabilitas Bambang Brodjonegoro sebagai menteri keuangan. Prestasi ini tentu saja menjadi modal bagi Menkeu Bambang Brodjonegoro untuk lebih berprestasi lagi di tahun kedua. Saya rasa Presiden Jokowi patut bangga memiliki Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro yang sudah menunjukkan kinerja yang ‘perform’ dan terbaiknya. Congratulations Pak Bambang!

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun