Tanggal 1 Juni, Aku MatiÂ
By Emoef Abdu Somad
Dia masih duduk di sana, di atas kursi rodanya, dengan tatapan hampa. Perempuan itu Vivian, istriku. Bunga poppy dan blue bells yang bermekaran indah di musim semi ini seolah tertutup kabut dalam pandangannya. Tak ada lagi tatapan takjub darinya saat menatap si lonceng biru ini menari gemulai karena tiupan angin, atau pekik bahagianya ketika sekawanan goldfinch membentuk brikade membelah langit. Kesukaannya menghidu aroma mawar di pagi hari juga telah pergi entah ke mana.Â
"Aku akan mati tanggal satu Juni ini. Ya, aku akan mati." Itu yang dikatakannya pagi tadi, saat aku menyediakan teh hangat beraroma mint kesukaannya. Perkataan yang sama, yang terus dia ulang setiap hari, seminggu, dua minggu, dan berbulan yang lalu.Â
Vivian seperti itu karena aku. Aku yang telah menenggelamkan rembulan di wajahnya, dan hanya menyisakan warna gulita. Wanita yang telah begitu setia menemani, menghadiahiku dengan cinta yang tulus, dari kami melarat sampai sesukses ini, dari kami tak punya apa-apa hingga memiliki puluhan kebun bunga di berbagai kota.Â
Waktu itu satu hari di musim panas, Vivian berdiri mematung di pintu kamar. Pandangannya begitu terluka, saat memergokiku sedang menindih Jelena, perempuan Rusia yang menjadi salah satu karyawan kami. Aku tak menyangka Vivian akan pulang secepat itu, dari waktu seminggu yang dia janjikan di satu acara seminar petani bunga. Kukira dia akan mengamuk, menyerangku dan Jelena. Nyatanya dia membalikkan badan, menjauh dan naik ke lantai atas rumah kami. Saat aku menyusulnya, dia tengah duduk di dekat jendela. Pandangannya lurus pada rimbun bunga lily di pojok taman.Â
"Vivi, aku ... aku bisa menjelaskannya. Aku dan Jelena---" Vivian mengangkat tangannya menyuruhku diam. Mata birunya tampak begitu redup, dan aku benar-benar semakin merasa bersalah. Perempuan itu kemudian beranjak, mengambil segelas wine, dan kembali duduk di dekat jendela.
 "Apakah bayi dalam perut Abigail juga anakmu?"Â
Pertanyaan yang menusuk tapi tak bisa kusangkal. Terbayang gadis berkulit hitam yang beberapa waktu lalu dipaksa keluar dari rumah kami. Abigail menangis di kaki Vivian saat mengaku jika bayi yang ada di rahimnya adalah benihku. Namun, istriku lebih mempercayaiku. Aku menyangkal semua pengakuan Abigail kala itu.Â
"Keluarlah, aku ingin sendiri sekarang."Â
Setelahnya Vivian menjadi pendiam. Dia seperti bangau yang terasing dari kawanannya, mematung di sebuah kolam besar, membisu, dan mengasingkan dirinya dalam keheningan. Namun, dia masih melayaniku, membuatkan jus apel kesukaanku di pagi hari, mengiris barra de pan, mengisinya dengan chistorra yang sudah digoreng terlebih dahulu, mencampurnya dengan keju dan telur, kemudian memanggangnya sampai menjadi bocadillo de chistorra  sebagai sarapan pagiku yang lezat.Â