Mohon tunggu...
Emoef Abdu Somad
Emoef Abdu Somad Mohon Tunggu... Guru - Guru yang punya hobby nulis

Nama pena yang biasa digunakan EMOEF ABDU SOMAD. Sampai sekarang saya masih aktif sebagai pengajar di SMP N 11 Tegal

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Play With Me

7 Oktober 2020   09:46 Diperbarui: 14 Januari 2021   07:32 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

By Emoef Abdu Somad

(Cerpen horor)

Sebuah mobil voridjer terparkir di rumah Nyonya Adriana. Empat orang polisi dan beberapa tetangga tampak mengobrol. Wajah mereka terlihat serius. Nyonya Adriana menangis. Rambut brunette-nya tampak kusut. Semua pasti karena Demitri, anak lelaki satu-satunya dengan Tuan Hanz. Bocah dua belas tahun yang terkenal bengal  ini sudah dua hari menghilang dan tidak meninggalkan jejak sama sekali. Mungkinkah dia dibawa oleh hantu Sungai Rhine? Atau dia telah membeku di bawah tumpukan salju? Seperti juga Lukas, Demitri tak akan mungkin ditemukan. 

Gegas kuteruskan langkah untuk kembali ke rumah. Tak tega rasanya melihat wajah wanita berusia kurang lebih empat puluh tahun itu digerus duka.

 # 

Paman Sam, Bibi Mary, dan anak-anaknya sedang bergembira. Ini malam istimewa. Semuanya terlihat dari tempat aku berdiri memandangi mereka, pada sebuah jendela kecil di ruangan berbau apak. Di meja makan mereka pasti telah tersedia roasted turkay, yule log, ginger bread, plum puding, dan aneka panganan khas hari raya lainnya. 

Teringat beberapa tahun silam, aku yang berada di ruangan itu bersama Momy dan Dady, berselimut kehangatan. Kini aku terusir dari rumahku sendiri. Kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuaku menjadi penyebabnya. Paman Sam menjadi waliku kini. Semenjak itu kesedihan dimulai dalam hidupku. 

Alunan musik masih terdengar, juga suara lonceng yang memenuhi penjuru desa kecil tempat aku tinggal. Udara terasa menggigit, menghadirkan gigil di sekujur tubuh. Semua karena perut yang belum terisi makanan. Aku tak berselera makan. Roti gandum yang mengeras dan sudah mulai mengeluarkan jamur rhizopus stolonifer, membuat selera makanku menguap. 

Kuseret langkah kaki, menjauhi jendela. Rasanya marah dengan takdir baik yang tak berpihak. Lunglai kuambil mainan yang tergeletak di kamar, lebih tepatnya gudang yang menjadi tempat istirahat setiap harinya. Mainan ini terlihat sudah tua. Aku mendapatkannya beberapa minggu yang lalu. 

Waktu itu, sepulangku dari kebun anggur, Nyonya Yulia terlihat sedang membereskan rumah. Setumpuk besar sampah dan mainan milik Jonathan, putra semata wayangnya,  dia bawa ke halaman rumah. Aku mendekati wanita yang berprofesi sebagai dokter tersebut.

 "Bolehkah aku membantumu, Nyonya?" tanyaku penuh harap. Aku memang senang membantu siapa saja.

 "Owh, hai Harry, tentu saja. Masuklah sini," jawabnya penuh kehangatan. 

Aku segera membuka pagar berwarna putih tersebut. Rumah Nyonya Yulia terbuat dari kayu berkualitas. Bangunannya minimalis, dan semua dicat dengan warna senada. Segera aku menuju teras dan langsung merapikan mainan yang berserakan tersebut ke dalam dus-dus besar. 

"Mau dibawa ke mana semua mainan ini, Nyonya?" tanyaku sambil menutup dus pertama dengan lakban. 

"Ini akan dibawa ke panti asuhan, Sayang. Jhoni kelihatannya sudah bosan dengan semua mainan ini." 

Aku mengangguk. Kuisi dus kedua dengan aneka jenis mobil-mobilan, pesawat, dan juga robot. Saat hendak menutup dus kedua, tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah mainan yang tergeletak di sudut teras. Entah mengapa aku begitu tertarik dengan benda tersebut.

 "Bolehkah aku memiliki ini, Nyonya?" tanyaku dengan sedikit takut.

 "Tentu saja Harry. Kau anak yang manis dan baik hati, seperti Momy-mu. Ambilah. Ini mainan lama dan tak pernah dipakai. Entah siapa pemiliknya. Aku menemukannya di gudang." Nyonya Yulia menatap iba, dia mengacak rambutku. 

Jadilah mainan itu kini berada di kamarku. Benda tersebut berbentuk sebuah miniatur rumah kecil dengan alas di bawahnya. Ada pagar yang mengelilingi. Ada tombol kecil di bagian depan. Bila tombol tersebut ditekan, maka bagian depan yang sepertinya sebuah jendela akan terbuka. 

Setelah itu akan keluar satu boneka badut. Walau kecil, bila dilihat sekilas  badut ini sangat menyeramkan. Matanya merah, wajah menyiratkan kemarahan.  Namun, badut itu ini bisa keluar tanpa aku melakukan apa pun. Saat itulah seseorang harus pergi. 

Bahan mainan ini terbuat dari kayu oak, dan terlihat sangat kuat. Siang itu sepulang dari ladang, ketika aku hendak melepas sarung tangan yang dipakai, tetiba terdengar musik di ruangan ini. 

Tang ting tang ting tang ting.... 

Terasa aneh saat suara itu terdengar, aku seperti terhipnotis. Kucari sumber suara tadi, dan ketemu! Ternyata bunyi musik itu berasal dari mainan yang baru beberapa hari mendiami kamar ini. Pelan dan dengan sedikit takut kudekati benda tersebut. Musik masih terus mengalun. 

Aku sedikit membungkuk untuk memastikan jika tak salah dengar. Tiba-tiba... srokkk! Jendela yang ada di mainan rumah itu terbuka dengan sendirinya. Otomatis kaki mundur beberapa langkah karena terkejut. Kembali kudekati benda itu setelah meredam degup jantung. Jendala kecil itu terbuka, si badut mengangguk-angguk, ada gulungan kertas di kakinya. Gemetar kertas itu kuambil dan dibuka. Kalimat yang tertera tereja perlahan. 

"Play with me!" Tiba-tiba rumah kecil itu mengeluarkan cahaya berwarna-warni, terasa hangat menerpa. Selanjutnya aku seperti dikendalikan kekuatan yang entah berasal dari mana. Terjadilah rentetan peristiwa tersebut. Kejadian yang membuat geger lingkunganku.

 Hujan salju masih mengguyur, rasa dingin semakin menyergap. Baju hangat yang melekat di tubuh ini hanya sedikit melindungi dari cuaca yang mendekati 0C. Selebihnya beku. Ah, andai saja tempat ini diberi perapian. 

Kesedihan menyelimutiku. Wajah Momy dan Dady terbayang. Rindu ini terbungkus rasa sepi. Perlahan jemari meraih rumah si badut. Aku ingin bermain. Baru saja tangan hendak menekan tombol 'play', terdengar pintu digedor dengan keras. Seseorang memanggil namaku. 

"Hary, kau belum tidur, kan?" Itu suara Samantha, sepupuku, anak Paman Sam yang sering berlaku kasar. 

"Harry --" Cepat kutaruh mainan tersebut dan menuju pintu. Saat pintu terbuka, Samantha berdiri dengan membawa sepiring makanan. Tangan kirinya memegang besar potongan besar mince pie.

"Lama sekali, Bodoh!" Samantha menerobos masuk. 

Aku segera bergeser, membiarkan tubuh gemuknya melewati pintu.  Dia menaruh piring tersebut di meja. Pandangannya terlihat jijik saat melihat ruangan ini. 

"Makanlah, dan jangan sekali-kali keluar! Jangan mengacau. Tetaplah di sini. Menjijikan!" Mulut pedas Samantha semakin membuatku bersedih. Kubiarkan gadis itu berlalu. Tak kubalas semua ejekan dia. 

Piring berisi makanan masih tergeletak di meja. Semua hanyalah  penganan sisa. Potongan kalkun yang sudah tergigit, remahan kue jahe, dan puding yang sudah tampak berantakan. Aku mengambil sedikit yang masih tampak bagus dan segera dimasukkan ke mulut. 

Ada rasa getir yang menyergap. Ketika semua orang bergembira dan menikmati makanan lezat saat malam hari raya, aku harus berpuas dengan sisa pesta. Setelah perut cukup terisi, kumasukan sisa penganan tersebut ke sebuah pinggan. Sesudahnya aku segera keluar, menerabas salju yang masih saja turun. Anjing-anjing liar di sudut desa pasti akan senang menyantap makanan ini. Kasihan, mereka harus bahagia malam ini. Jangan seperti aku yang terus terkungkung dalam kesedihan.

 # 

Kamarku digeledah oleh beberapa orang polisi. Paman Sam berdiri di dekat pintu, memeluk Bibi Mary. Tatapannya kosong, sementara wanita yang ada di dekapannya menangis sedih. Para polisi membuka lemari tua yang ada di sudut kamar. Isinya hanya beberapa helai pakaian usang milikku. Mereka menutup lemari itu karena tidak menemukan apa yang dicari. 

"Kapan terakhir kau bertemu dengan Samantha?" Seorang polisi menanyaiku sambil membungkukkan badan. Pandangannya menelisik, memastikan bahwa aku tak berbohong. 

"Tiga hari yang lalu, Tuan. Saat dia mengantar makan malam untukku," jawabku dengan sedikit takut. 

"Apa kau tahu kemana perginya Samantha?" 

"Ti---tidak tahu, Tuan." 

Polisi yang menanyaiku berbisik pada rekannya, entah apa yang mereka bicarakan. "Oke, Anak Muda. Kalau kau tahu atau mendapat info tentang Samantha, tolong beritahu kami." Aku segera mengangguk mengiyakan. 

Tak lama para petugas ini meninggalkan kamarku, juga paman dan bibi. Kutarik nafas lega. Andai mereka tahu betapa takutnya aku tadi. Segera kututup pintu kamar dan selanjutnya membaringkan tubuh, meredakan debar jantung yang masih terasa, juga menghilangkan bayangan kengerian yang terus mengikuti. 

Aku benar-benar takut. Suara-suara itu, jeritan Samantha, pisau yang berterbangan, juga darah yang membanjir di lantai kamar. Semuanya masih terekam jelas di ingatan. Tak lama mataku tertutup. Diri ini tak ingin mengingat semuanya. 

# 

Aku masih asik membaca buku saat seseorang meneriakkan namaku. Itu suara Jhonatan. Segera kubuka pintu kamar. Anak lelaki berusia enam tahun itu tersenyum, menampakkan giginya yang rapi. Syal biru yang melingkar di lehernya tampak kedodoran. 

"Harry, maukah kau menemaniku? Momy ada keperluan ke kota." 

"Maaf, Jhony. Aku sedang tak enak badan. Badanku sedikit demam," kataku dengan nada menyesal. Kuusap kepalanya lembut. 

"Kalau begitu bolehkah aku menunggu Momy di sini? Aku janji tak akan nakal." 

Keraguan menyelimuti hati. Tak tega rasanya membiarkan Jhonatan bermain di tempat yang pasti akan membuatnya tak nyaman. Namun, menolak permintaan dia juga tak mungkin kulakukan. Akhirnya kubukakan pintu untuknya. 

"Masuklah!" Jhonatan terlihat senang. Dia duduk di tempat tidurku. Sebuah ranjang yang kasurnya sudah rusak dan bau. 

"Siapa itu, Harry?" Jhonatan menunjuk foto yang menempel di dinding. 

"Itu Momy dan Dadyku." 

"Di mana mereka? Kenapa aku tak pernah melihat keduanya?" 

"Mereka ada di surga, Jhony." Nada suaraku terdengar getir. Anak itu manggut-manggut. Mungkin dia tak mengerti maksud kalimatku. Tiba-tiba tatapan Jhonatan tertujuh benda yang tergeletak di meja. 

"Apa ini, Harry?" tanyanya sambil melihat bagian bawah benda tersebut. 

"Itu mainan, pemberian Momy-mu. Letakkan kembali di meja, Jhony. Itu hanya mainan usang." 

Jhonatan tak mengindahkan kalimatku. Dia membolak-balik benda tersebut. Sorot matanya lekat menatap mainan itu. Jantungku berdegup, takut sesuatu yang buruk terjadi. Tiba-tiba aku teringat Demitri. Dia pernah kuajak bermain dengan benda itu. Aku hanya ingin membuatnya senang. Demitri sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya. Dia sering menunjukkan luka lebam akibat pukulan yang dia terima di rumah. Semua cerita Demitri membuatku merasa iba. Namun, Demitri menghilang, setelah kuajak main.  Jeritannya masih memenuhi indra pendengaranku.

Demikian juga Samantha. Dia memang jahat padaku. Namun, Samantha sering di-bully karena bentuk tubuhnya. Dia sering terlihat sedih saat berada di sekolah. Anak-anak perempuan enggan bermain dengannya. Kasihan. Dan kalian tahu? Kini tak ada lagi yang mem-bully-nya. Aku yang membebaskannya. Semua karena aku iba padanya. 

Jhonatan tak boleh bermain dengan benda ini. Aku tak ingin dia celaka. Anak baik ini sudah seperti adik bagiku. Membayangkan Nyonya Yulia menangis saja aku tak sanggup. 

"Harry, kemarilah. Aku penasaran dengan benda ini. Play with me!" 

Lamunanku lesap seiring teriakan Jonathan. Terlambat! Musik mulai terdengar, ruangan ini bergetar, benda terkutuk itu mulai mengeluarkan cahaya. 

"Lari, Jhony, lariii!" teriakku kalut. 

Jhonatan ketakutan. Kakinya seperti terbenam ke bumi. Guncangan semakin terasa kuat. Sebuah kesadaran menyergap---aku harus menyelamatkan Jhony---apa pun caranya. 

"Lari Jhony, keluarrr ...." 

Secepat kilat kutarik tangan bocah kecil ini dan berlari mendekati pintu. Tiba-tiba, blam! Pintu tertutup sendiri. Jhonatan menangis, sedang aku bertambah panik. Sekuat tenaga berusaha mendorong pintu tersebut tapi hasilnya nihil! Di tengah rasa panik yang menyergap, aku melihat pintu kecil di sebelah pintu utama, tempat Cila, anjing kesayanganku berlalu lalang ke kamar dan halaman. Ini saatnya aku harus menyelamatkan Jhonatan, apa pun caranya. Aku tak mau dia mati, tidak tega membayangkan kesedihan Nyonya Yulia bila harus kehilangan lagi orang yang dicintainya.

 Posisi Jonathan menguntungkan. Dia tepat berada di depan pintu itu. Dengan sisa tenaga kudorong tubuh kecilnya. Jhonatan selamat. Bersamaan dengan itu benda-benda tajam meluncur ke arahku, menancap keras di punggung. Sesuatu yang basah mengalir di bagian belakangku, teramat sakit. Aku terjatuh, air mata berlinang. Momy dan Dady terlihat membentangkan tangan. 

Tang ting tang ting tang ting .... 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun