Aku masih asik membaca buku saat seseorang meneriakkan namaku. Itu suara Jhonatan. Segera kubuka pintu kamar. Anak lelaki berusia enam tahun itu tersenyum, menampakkan giginya yang rapi. Syal biru yang melingkar di lehernya tampak kedodoran.Â
"Harry, maukah kau menemaniku? Momy ada keperluan ke kota."Â
"Maaf, Jhony. Aku sedang tak enak badan. Badanku sedikit demam," kataku dengan nada menyesal. Kuusap kepalanya lembut.Â
"Kalau begitu bolehkah aku menunggu Momy di sini? Aku janji tak akan nakal."Â
Keraguan menyelimuti hati. Tak tega rasanya membiarkan Jhonatan bermain di tempat yang pasti akan membuatnya tak nyaman. Namun, menolak permintaan dia juga tak mungkin kulakukan. Akhirnya kubukakan pintu untuknya.Â
"Masuklah!" Jhonatan terlihat senang. Dia duduk di tempat tidurku. Sebuah ranjang yang kasurnya sudah rusak dan bau.Â
"Siapa itu, Harry?" Jhonatan menunjuk foto yang menempel di dinding.Â
"Itu Momy dan Dadyku."Â
"Di mana mereka? Kenapa aku tak pernah melihat keduanya?"Â
"Mereka ada di surga, Jhony." Nada suaraku terdengar getir. Anak itu manggut-manggut. Mungkin dia tak mengerti maksud kalimatku. Tiba-tiba tatapan Jhonatan tertujuh benda yang tergeletak di meja.Â
"Apa ini, Harry?" tanyanya sambil melihat bagian bawah benda tersebut.Â