Cukup lama saya absen membuat tulisan untuk berbagi di blog keroyokan ini. Tulisan terakhir saya naik tayang di blog kompasiana per tanggal 18 Juni 2021. Setelah itu, hampir tiga tahun saya "menepi". Banyak faktor yang turut berpengaruh terhadap stagnasi produktivitas menulis (saya). Salah satu dari banyak faktor itu, sebut saja karena (ke)jenuh(an).
Jenuh oleh rutinitas tugas dan pekerjaan sehari-hari yang menuntut perhatian penuh dan fokus menunaikan kewajiban. Juga karena gairah (passion) yang sangat fluktuatif dan bergantung pula pada suasana hati (mood). Ketika keinginan menulis muncul, kadang tidak berbarengan dan tidak sinkron dengan mood. Sehingga tanpa disadari, aktivitas yang baik yang sudah dimulai, diawali melalui kebiasaan (habit), lalu berubah menjadi hobi, menulis, tiba-tiba terhenti, bahkan vakum lebih dari dua tahun. Â Â
Simbol dan Kualifikasi
Hari ini, saya membuka tautan kompasiana.com. Pada laman beranda muncul artikel yang menyebutkan tentang kebijakan centang hijau. Bahwa kebijakan centang hijau akan tidak lagi diberlakukan. Terdorong oleh rasa ingin tahu, lalu saya mencoba membaca artikel tersebut. Selanjutnya diarahkan untuk membuka tautan tentang kebijakan centang biru.
Sebelumnya saya tidak terlalu paham tentang kebijakan centang biru. Pikir saya hal itu hanya sebagai penanda kepada penulis yang produktif dan tulisannya telah mencapai jumlah tertentu. Ternyata setelah menyimak artikel itu, rupanya kebijakan centang biru itu juga sebagai "simbol".
Simbol mana sebagai bentuk verifikasi terhadap "status" yang menunjukkan kualifikasi penulisnya. Kualifikasi yang ditunjukkan melalui simbol centang biru itu ditentukan berdasarkan konten yang dibuat. "Kompasianer yang mendapatkan label verifikasi adalah mereka yang artikel-artikelnya tidak diragukan lagi isinya. Bukan hanya karena keaktifannya dalam menulis di satu bidang atau tema, tapi juga semangatnya dalam menyuguhkan artikel berkualitas kepada para pembaca (kompasiana.com)."
Membaca pernyataan terakhir dalam tanda petik tersebut serta merta membuat saya tersadar bahwa selama ini saya telah menyia-nyiakan banyak waktu untuk memberi warna dalam perjalanan dan ritme interaksi antarblogger kompasiana.com, dan juga untuk pembaca umum. Karena itu, saya berharap tulisan ini sebagai awal penanda, "Saya kembali (comeback)!"
Terminologi Politik Identitas
Politik identitas mengemuka seiring dengan pergelaran kontestasi Pilgub DKI Jakarta. Berawal dari keseleo lidah mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (BTP), yang lebih beken dikenal dengan sebutan Ahok, yang "menyoal" kriteria pemimpin sebagaimana ketentuan nash Al-Qurán Surat Al-Maidah ayat 51, gemuruh politik identitas bagai air bah melanda. Negeri besar nan permai bernama Indonesia, yang sangat menjunjung tinggi nilai toleransi dalam kebhinekaan, nyaris tercabik-cabik.  Birahi politik yang menggemuruh, telah menyeret negeri ini pas berada di bibir tebing, nyaris terpelanting dan hancur berkeping-keping.
Beruntung di negeri ini masih berdiam orang-orang waras dan berpikiran terbuka (open minded), sehingga potensi "hancur" negeri ini dapat dicegah, meski masyarakat akar rumput harus menerima akibat sebagai kenyataan (faKtual), sampai hari ini menjadi centang perenang. Terjebak pada permainan politik elit, yang sengaja mempermainkan dan memanipualsi sentimen primordial dan keagamaan demi elektabilitas electoral semata. Bukan untuk politik substansial yang mencerminkan high politic, politik berkeadaban demi kejayaan negeri, yang sejak dulu dikenal sebagai gemah ripa loh jinawi, tapi semata karena nafsu politik kuasa.Â
High Politic & Low Politic
Bila kita mencoba menengok ke belakang lebih jauh, sejatinya terminologi politik identitas itu sudah mulai "mengacak"emosi dan atmosfir soisial politik Indonesia sejak Megawati Soekarnoputri mulai menggadang asa maju sebagai kandidat dan calon Presiden RI pada Pileg 2019. Resistensi terhadap pemimpin wanita dengan mengacu pada ketentuan nash Al-Qurán surah An-Nisa ayat 43, seolah sebagai pembenar. Bahkan demi menegaskan sikap menolak itu, mimpar-mimbar masjid disulap menjadi podium dengan agitatasi penuh "fatwa pesanan", membuat atmosfir politik sangat hingar bingar dan gaduh. Mobilisasi khatib dengan memanfaatkan mimbar masjid menjadi corong utama untuk mengkapitalisasi suara penolakan (resistensi) terhadap kehadiran pemimpin wanita.
Sayang, idealisme yang dibalut oleh semangat puritan mempertahankan moral agama, hanya dalam hitungan tidak lebih dari dua tahun, berbalik arah. Megawati Soekarnoputi malah didapuk oleh para anggota dewan dan majelis yang terhormat di Gedung kura-kura sebagai Presiden RI yang ke-4, menggantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dilengserkan secara paksa, karena tuduhan terlibat Bulogate.
Ludah yang sudah dimuntahkankan ke lantai, karena tak ada lagi saluran lain yang dibenarkan konstitusi, maka dengan sangat terpaksa, meski menjijikkan, dijilat kembali. Sebuah sikap hipokrit yang dipertontonkan secara vulgar dan telanjang oleh orang-orang yang mengaku terhormat di Gedung Dewan. Mereka dengan membentuk Poros Tengah yang sejak awal mencoba membendung "gairah" Megawati menjadi Presiden dengan mendorong Gus Dur sebagai calon, saling berhadapan, dan terpilih sebagai Presiden RI ke-4.
Mayoritas dari anggota dewan dan majelis yang terhormat itu adalah muslim, yang dalam kerangka pandang (view frame) berpedoman pada nash Al-Qurán (dan hadis). Sehingga sebagai, juga seorang musim, yang lahir dan besar dalam lingkungan dan komunitas yang sangat beragam (heterogen), melihat kenyataan social seperti itu, sangat membuat miris.
Keagungan nilai toleransi tercerabut dari akar bangsa ini ketika politik electoral menjadi panglima. Fatsoen politik menjunjung tinggi politik tingkat tinggi (high politic), sebagaimana istilah ini pertama kali diperkenalkan Amien Rais, telah tercampakkan karena ego sektoral ingin menang dan menonjolkan kelompok (identitas) diri secara ekslusif. Politik rendah (low politic), politik urakan yang mengacu pada identitas, berdasarkan warna kulit, suku, ras, etnis, dan atau agama digandrungi? Dalam kasus Indonesia yang mengemuka adalah politik identitas karena mengeksploitasi nilai moral agama yang agung menjadi sesuatu yang hanya bersifat pagan.
Politik Identitas: Politik Tanpa Nilai
Geliat politik identitas kembali memacu adrenalin seiring dengan semakin dekat pesta demokrasi 2024. Nuansa politik identitas kembali menguat dan mulai dimainkan seiring dengan tokoh politik yang "dikarbit" menjadi gubernur ibukota melangkah dengan sebuah harapan semu (unpredictable). Pada profilnya melekat begitu kuat label politik identitas, bahkan nyaris identik dengan namanya.
Apalagi dengan alasan "menjajakan diri" bersahari ria tanpa mengindahkan kepatutan politik tingkat tinggi, Â (high politic), politik berkeadaban. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, label atau stigma sebagai pengusung politik identitas nyaris tak bisa dipisahkan dari namanya.
Para pendukungnya pun tanpa malu-malu bersembunyi di balik jubah kebesaran mendeklarasikan dan menegaskan diri sebagai bagian dari politik identitas ansich. Secara terbuka dan lantang berteriak tentang pentingnya membangun kebesaran sebuah imperium di atas ideologi theologis, Â tanpa sebuah kerangka konseptual yang substansial, apalagi bersifat operasional aplikatif.
Bagi para pendukung yang diorkestrasikan secara terselubung oleh para petualang politik (opportunis) musiman, jalan menuju ke sana sekarang sudah terbentang lebar. Tinggal bagaimana menggerakkan semua sumber daya (resources) yang ada dengan sedikit polesan theologis sebagai justifikasi terhadap visi perjuangan. Maka semangat juang dengan mengabaikan nilai-nilai luhur sebuah perjuangan dalam kerangka ingin mendapatkan keberkahan, membangun negeri yang baldatun thoyyibah, seolah menjadi urutan kesekian yang masuk dalam daftar hitungan.
Politik yang seharusnya dapat menjadi sarana untuk melakukan perbaikan dalam kerangka horizontal sebagai pertanggungjawaban kemakhlukan terhadap pencipta, sekaligus menjadi jembatan penghubung antarsesama dalan konteks sebagai makhluk social, malah ditarik sedemikian rupa menjadi sesuatu tanpa nilai (nir-nilai). Keserakahan untuk saling menisbikan demi identitas dan politik, telah menjadikan politik hanya sekedar pemenuhan hidup ragawi semata.Â
Kontestasi Politik 2024: Jangan Menjadi Bangsa Paria
Dinamika politik menjelang kontestasi 2024 semakin memanaskan suasana persaingan. Kompetitor yang diprediksi bersaing, secara latar politik, memiliki basis massa yang tak bisa dianggap remeh. Masing-masing calon kandidat mempunyai nalar politik sendiri dalam menjaring suara konstituen. Karena itu, jika keliru atau salah menentukan strategi dan memantulkan bandul, akan dapat memukul sang calon sendiri tanpa ampun. Terjerembab dalam ekspektasi semu karena salah melakukan kalkulasi politik secara matang.Â
Di sinilah peran politik stigma menemukan momentumnya, dan dicobamainkan. Bandul framing menjadi salah satu pilihan yang dirasionalisasi sedemikian rupa agar bisa diterima sesuai nalar politik yang telah dibangun. Â Jika terjebak pada tujuan jangka pendek hanya sekedar untuk meraih tampuk kekuasaan tanpa mengindahkan nilai-nilai luhur sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tujuan bernegara, seperti diinginkan sejak awal oleh para Bapak bangsa (founding fathers), maka negeri ini akan tetap menjadi bangsa "paria".
Kejayaan Negeri
Kejayaan negeri yang diimpikan melalui jargon adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan akan menjadi upaya sia-sia bila membiarkan politik urakan menjadi sebuah pilihan. Resiko sungguh sangat besar dan mahal. Negeri besar nan permai ini boleh jadi hanya tinggal nama jika membiarkan para petualang politik mengembangkan perangkap melalui cara politik rendahan (low politic).
Tanpa mengungrangi maknanya politik dengan mengedepankan identitas melalui upaya eksploitasi sentimen keagaman (theologis), sungguh termasuk politik tanpa nilai, karena dibangun di atas landasan yang rapuh. Ibarat membangun instana pasir di pinggir pantai. Berlelah-lelah mendesain dan membangun istana, ketika ombak datang menghempas pantai maka istana pasir runtuh dan ambruk tanpa bekas.
Tentu saja kita semua tidak menginginkan hal itu terjadi pada negeri besar nan permai ibarat zamrud khatulistiwa ini. Hendaknya semua elemen dan komponen bangsa harus secara tegas menolak bangunan politik identitas hanya sekedar ingin meraih tampuk kekuasaan. Harganya terlalu mahal jika demi syahwat politik jangka pendek mengorbankan bangsa besar ini.
Makassar, 01032023/NT Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H