Bila kita mencoba menengok ke belakang lebih jauh, sejatinya terminologi politik identitas itu sudah mulai "mengacak"emosi dan atmosfir soisial politik Indonesia sejak Megawati Soekarnoputri mulai menggadang asa maju sebagai kandidat dan calon Presiden RI pada Pileg 2019. Resistensi terhadap pemimpin wanita dengan mengacu pada ketentuan nash Al-Qurán surah An-Nisa ayat 43, seolah sebagai pembenar. Bahkan demi menegaskan sikap menolak itu, mimpar-mimbar masjid disulap menjadi podium dengan agitatasi penuh "fatwa pesanan", membuat atmosfir politik sangat hingar bingar dan gaduh. Mobilisasi khatib dengan memanfaatkan mimbar masjid menjadi corong utama untuk mengkapitalisasi suara penolakan (resistensi) terhadap kehadiran pemimpin wanita.
Sayang, idealisme yang dibalut oleh semangat puritan mempertahankan moral agama, hanya dalam hitungan tidak lebih dari dua tahun, berbalik arah. Megawati Soekarnoputi malah didapuk oleh para anggota dewan dan majelis yang terhormat di Gedung kura-kura sebagai Presiden RI yang ke-4, menggantikan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dilengserkan secara paksa, karena tuduhan terlibat Bulogate.
Ludah yang sudah dimuntahkankan ke lantai, karena tak ada lagi saluran lain yang dibenarkan konstitusi, maka dengan sangat terpaksa, meski menjijikkan, dijilat kembali. Sebuah sikap hipokrit yang dipertontonkan secara vulgar dan telanjang oleh orang-orang yang mengaku terhormat di Gedung Dewan. Mereka dengan membentuk Poros Tengah yang sejak awal mencoba membendung "gairah" Megawati menjadi Presiden dengan mendorong Gus Dur sebagai calon, saling berhadapan, dan terpilih sebagai Presiden RI ke-4.
Mayoritas dari anggota dewan dan majelis yang terhormat itu adalah muslim, yang dalam kerangka pandang (view frame) berpedoman pada nash Al-Qurán (dan hadis). Sehingga sebagai, juga seorang musim, yang lahir dan besar dalam lingkungan dan komunitas yang sangat beragam (heterogen), melihat kenyataan social seperti itu, sangat membuat miris.
Keagungan nilai toleransi tercerabut dari akar bangsa ini ketika politik electoral menjadi panglima. Fatsoen politik menjunjung tinggi politik tingkat tinggi (high politic), sebagaimana istilah ini pertama kali diperkenalkan Amien Rais, telah tercampakkan karena ego sektoral ingin menang dan menonjolkan kelompok (identitas) diri secara ekslusif. Politik rendah (low politic), politik urakan yang mengacu pada identitas, berdasarkan warna kulit, suku, ras, etnis, dan atau agama digandrungi? Dalam kasus Indonesia yang mengemuka adalah politik identitas karena mengeksploitasi nilai moral agama yang agung menjadi sesuatu yang hanya bersifat pagan.
Politik Identitas: Politik Tanpa Nilai
Geliat politik identitas kembali memacu adrenalin seiring dengan semakin dekat pesta demokrasi 2024. Nuansa politik identitas kembali menguat dan mulai dimainkan seiring dengan tokoh politik yang "dikarbit" menjadi gubernur ibukota melangkah dengan sebuah harapan semu (unpredictable). Pada profilnya melekat begitu kuat label politik identitas, bahkan nyaris identik dengan namanya.
Apalagi dengan alasan "menjajakan diri" bersahari ria tanpa mengindahkan kepatutan politik tingkat tinggi, Â (high politic), politik berkeadaban. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, label atau stigma sebagai pengusung politik identitas nyaris tak bisa dipisahkan dari namanya.
Para pendukungnya pun tanpa malu-malu bersembunyi di balik jubah kebesaran mendeklarasikan dan menegaskan diri sebagai bagian dari politik identitas ansich. Secara terbuka dan lantang berteriak tentang pentingnya membangun kebesaran sebuah imperium di atas ideologi theologis, Â tanpa sebuah kerangka konseptual yang substansial, apalagi bersifat operasional aplikatif.
Bagi para pendukung yang diorkestrasikan secara terselubung oleh para petualang politik (opportunis) musiman, jalan menuju ke sana sekarang sudah terbentang lebar. Tinggal bagaimana menggerakkan semua sumber daya (resources) yang ada dengan sedikit polesan theologis sebagai justifikasi terhadap visi perjuangan. Maka semangat juang dengan mengabaikan nilai-nilai luhur sebuah perjuangan dalam kerangka ingin mendapatkan keberkahan, membangun negeri yang baldatun thoyyibah, seolah menjadi urutan kesekian yang masuk dalam daftar hitungan.
Politik yang seharusnya dapat menjadi sarana untuk melakukan perbaikan dalam kerangka horizontal sebagai pertanggungjawaban kemakhlukan terhadap pencipta, sekaligus menjadi jembatan penghubung antarsesama dalan konteks sebagai makhluk social, malah ditarik sedemikian rupa menjadi sesuatu tanpa nilai (nir-nilai). Keserakahan untuk saling menisbikan demi identitas dan politik, telah menjadikan politik hanya sekedar pemenuhan hidup ragawi semata.Â