Pengantar
Saya membutuhkan waktu yang relatif cukup lama untuk mengumpulkan dan memulihkan memori dan sebagian kekuatan yang nyaris hilang untuk memulai menuliskan "kisah" ini.Â
Mengingat ketika untuk pertama kali mendengar berita duka yang mengabarkan tentang kepergian keharibaan Ilahi Rabbi, Saudara, Kakak, Opuklake, teman, sahabat, rekan (seperjuangan), dan (pada batas tertentu, saya anggap sebagai), maaf, "kompetitor" (dalam tanda petik), alm. MALIK KADIR K.S., membuat saya berada pada sebuah situasi, "bagai runtuh bumi yang sedang dipijak."Â
Sementara di saat yang bersamaan, atas berita itu, saya tidak memberikan reaksi dan respon  apapun, tertunduk lesu, terdiam dalam bisu, terutama berita duka di lini massa, media sosial (terutama WA, IG, dan FB).
Bahwa saya tidak memberikan reaksi dan respon terhadap berita duka yang datang, terutama menanggapi berbagai ungkapan duka, simpati, dan doa tulus dari berbagai kalangan atas kepergian almarhum, meski hanya berupa gambar emoticon (khusus di media sosial), bukan berarti saya kehilangan perspektif keluarga.Â
Justru pada kondisi itu, saya ingin mengatakan bahwa saya berada dalam sebuah kondisi, lebih dari apa yang mungkin dirasakan semua orang, kegamangan, bergulat sangat keras dengan bathin saya, dan terus bertanya, bahwa sungguh kenapa AJAL itu begitu cepat datang?
Semua ungkapan, pernyataan duka, belasungkawa, simpati, dan doa yang mengalir (seperti terungkap oleh berbagai kalangan (keluarga maupun lainnya)) di media sosial, tidak cukup menggerakkan bathin saya untuk turut melakukan hal yang sama.Â
Bagi saya ekspresi duka, belasungkawa, simpati, dan doa yang disampaikan oleh berbagai kalangan tidak cukup mewakili dan menggambarkan apa yang sedang bergolak dalam bathin saya. Semua perasaan berkecamuk dan menyatu hingga saya tak mampu, meski hanya sekedar untuk menarasikan secara eksplisit apa sesungguhnya yang bergolak dalam nurani saya.