PengantarÂ
Catatan : Artikel ini sebagai pengembangan dari pokok-pokok pikiran yang pernah di-post di WA-grup.
Pada Sabtu, 6 Juni 2020, pukul 19.30, warga Lamakera di seluruh Indonesia, mengadakan Halal Bi Halal Virtual secara daring dengan menghadirkan dua (2) orang politisi nasional dan anggota DPR RI, yang juga sebagai anak kandung Lamakera. Saya sangat berterima kasih mendapatkan kesempatan bertemu dan bertatap muka dengan "orang-orang hebat" pada acara tersebut.
Acara itu bertujuan untuk mempertemukan generasi terdidik Lamakera, yang mengidentifikasikan diri sebagai "Generasi Emas" dan mencoba membangun sinergi secara berkelanjutan untuk menata peradaban baru Lamakera, yang dikemas dalam nuansa Halal Bi Halal sebagai rangkaian ritual tahunan setelah Idul Fitri (1441 H), dengan mengusung tema "Ikhtiar Kolektif Mempererat Ukhuwah, Membangun Peradaban Lamakera".Â
Tercerahkan
Idiom "Generasi Emas" ini sarat makna, yang menunjuk pada sebuah entitas, yang menggambarkan sebuah kelompok sosial yang sudah tercerahkan, baik secara intetektual maupun spiritual. Â Saya lebih suka menggunakan istilah "tercerahkan", meminjam istilah Ali Syariati, seorang tokoh revolusioner Islam Iran, daripada cendekiawan atau intelektual. Karena bagi saya, tercerahkan lebih netral, lebih mencakup (inklusif), dan tidak terikat pada faktor vested interes dan jauh dari bias kepentingan pragmatis jangka pendek.Â
Meski demikian saya tetap berharap, mudah-mudahan atribut itu tidak menjadi beban, tapi betul-betul merupakan manifestasi dan implementasi dari tanggung jawab sosial dan moral sebagai anak Lewotanah yang ingin berkhidmat untuk kemajuan daerahnya. Selanjutnya tulisan hanya ingin meng-higlight dinamika dan dialektika selama pertemuan berlangsung.
PrasyaratÂ
Kalau kita bicara tentang Lamakera hari ini, baik sebagai entitas sosial-budaya dan entitas politik, maka kita tidak bisa memisahkan hal itu dari konteks dan sistem politik nasional hari ini. Sekedar flashback, jujur harus kita katakan, hingga hari ini masih terasa implikasi pertarungan politik sejak kontestasi pileg dan pilpres tahun 2014, telah menimbulkan polarisasi dan segregasi pada masyarakat akar rumput, tidak terkecuali warga Lamakera, akibat politik sektarian yang dibumbui provokasi sentimen primordial dengan modal hoaks dan fitnah. Dan saya berharap sebagai generasi yang sudah "tercerahkan" karena proses adaptasi dan transformasi, baik sosio-kultural maupun pendidikan, kita tidak terjebak dalam politik sektarian primordial dangkal, tapi harus menjadi suluh (pencerah) untuk memberikan pendidikan politik secara jujur, benar, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat akar rumput, yang notabene masih awam politik, yang juga sebagai bagian dari diri kita.Â
Namun demikian, saya tetap berharap kita tidak terjebak dalam pola pikir pragmatis-parokial karena politik partisan, yang sengaja membangun opini dengan narasi-narasi tendensius dengan melakukan simplifikasi secara pukul rata hanya karena ingin memberi kesan insinuatif dan stigma terhadap apa dan siapa yang tidak seirama dengan preferensi dan afiliasi politik sektoral dan personal masing-masing individu secara ansich. Karena model politik seperti ini, bagi saya, merupakan, (maaf, kalau boleh saya istilahkan!) "pembodohan strukrural", di mana hanya akan menanamkan dan mewariskan kebencian dalam alam bawah sadar dan itu akan terakumulasi secara terus menerus. Jujur harus dikatakan bahwa aura kebencian ini sangat terasa di timeline media sosial, terutama WA-WA grup dan facebook. Dan hal ini sangat tidak sehat dan tidak produktif pada tataran jangka panjang! Apalagi berobsesi membangun sebuah peradaban baru.
Penting saya harus memberi stressing seperti itu, karena kadang secara sadar atau tidak sadar kita cenderung bersikap apriori, menyimpulkan sesuatu berdasar asumsi subyektif yang cenderung manipulatif-spekulatif, lebih karena prasangka (prejudice) tanpa didukung data yang valid dan argumentasi  yang kuat dan komprehensif.
Maka tidak heran, lahirlah kemudian mindset curiga, yang berimplikasi pada pemikiran dikhotomis-diskriminatif. Pada posisi selanjutnya kita tidak lagi melihat sesuatu secara jernih dan proporsional (kritis-obyektif) terhadap sebuah fenomena sosial maupun politik dari posisi yang netral. Posisi di mana merupakan setting sosial yang tidak dipengaruhi oleh preferensi dan afiliasi politik praktis untuk menghindari bias kepentingan.
Peradaban vs Keadaban
Tanpa mengurangi rasa hormat, saya ingin mengatakan, kalau boleh saya jujur, fenomena itu, maaf, sangat terlihat dan auranya sangat terasa di kalangan generasi Lamakera hari ini. Aura negatif yang penuh dengan nafsu kebencian tanpa nalar. Dengan demikian saya berani mengatakan bahwa apa yang kita simpulkan terhadap sebuah fenomena, baik sosial maupun politik yang tertangkap, cenderung bias kepentingan, apalagi ditarik pada konteks dan  sistem politik aktual dan faktual hari ini.
Pertanyaan kemudian muncul adalah mungkinkah kita bermimpi dapat membangun sebuah peradaban baru dalam nuansa hati dan pikiran kita terkontaminasi oleh kepentingan politik praktis jangka pendek, yang lebih didominasi oleh politik kekuasaan? Atau dengan kata lain, mungkinkah sebuah peradaban baru (tentu saja dengan menyertai pula (inklud) nilai-nilai baru), yang sesuai dengan kaidah moral dan tuntunan agama, tapi membiarkan diri (hati dan pikiran) kita tenggelam dalam "alur permainan" para elit yang sarat kepentingan pragmatis jangka pendek?
Elit, yang saya maksud adalah kita semua, sebagai anak Lewotanah, yang sudah tercerahkan (terdidik/terpelajar) melalui transformasi pendidikan dan budaya karena telah melalui proses interaksi dan adaptasi dengan sistem sosial-budaya lain, yang secara sepintas, boleh jadi sangat berbeda dan menjadi antitesa budaya lokal (bawaan).  Atau sederhananya, bagaimana mungkin kita dapat secara elegan mencoba menata sebuah pride (kebanggaan) melalui cara-cara yang cenderung menjadi kontradiksi dari sikap dan nilai kehanifan sebagai makhluk mulia? Sifat yang cenderung ingin menuju ke kebaikan, yang sesuai fitrah kemanusiaan, di mana secara alamiah tetap ingin melakukan sesuatu yang baik sesuai dengan fitrahnya sebagai makhluk yang paling mulia.
Jika yang terekspresikan adalah hal yang sebalikya dari fitrah sebagai makhluk mulia, di mana lebih suka memelihara aura kebencian dan permusuhan hanya untuk menyalurkan syahwat politik temporer, mungkinkah agama telah mengalami reduksi makna dalam arti sesungguhnya? Apalagi secara sengaja ingin memelihara aura negatif dan berusaha  mengkamuflase dengan terus menerus memproduksi narasi-narasi yang tidak produktif hanya karena ingin terlihat sebagai sedang memperjuangkan kepentingan umat. Saya setuju ikhtiar baik kita untuk melihat kejayaan umat, tapi perlu catatan, harus dengan cara-cara yang benar dan bertanggung jawab. Harus sesuai dengan nilai-nilai luhur nan agung dari ajaran agama. Itulah keadaban.
Sentimen Primordial
Kebanggaaan (pride) umat itu harus dibangun dengan cara-cara yang terhormat dan itu perlu waktu. Bukan dengan cara instan, apalagi hanya bermodalkan sentimen primordial untuk mengkapitalisasi kebencian yang sungguh sangat bertolak belakang dengan misi memperbaiki akhlak, kerasulan Muhammad Saw. Bila itu yang terjadi maka saya ingin mengatakan bahwa kita telah dengan sengaja melakukan distorsi makna agama pada tataran praktikal.
Kita mampu menjabarkan makna agama dari sisi teori, tapi sayang bila dikomparasikan dan disinkronkan dalam praktek aktual di lapangan, sungguh terlihat sangat nyata kesenjangan (gap) itu. Terjadi anomali antara pengetahuan teoritis dan aplikasi pada tataran praktikal-empiris. Antara teori dan praktek terdapat jurang, dan kadang hal itu sengaja diciptakan, malah dibiarkan terjadi. Â
Kenaifan ini hendaknya tidak perlu lagi dipertahankan dan dilanjutkan jika ingin peradaban baru itu benar-benar mempunyai nilai martabat. Karena bagi saya apalah artinya sebuah peradaban yang dibangun di atas landasan yang rapuh (tanpa keadaban)?
Lamakera Dulu  Â
Sebagai gambaran saya ingin menyampaikan sebuah cerita, sebuah contoh kasus, tentang proses perkembangan Lamakera sejak politik belah bambu ala Orba. Pada tahun 1992 HIPPMAL mengadakan kegiatan Titian Muhibbah dengan mengadakan pementasan drama keliling di desa-desa dan kelurahan yang berbasis mayoritas warga muslim di Flores Timur. Pada suatu ketika pementasan itu dilakukan di Larantuka, dengan mengambil home base (sekretariat sementara) di Rumah Aba H. Abd. Syukur Alwan, yang kebetulan pada saat itu sebagai anggota DPRD Fraksi Golkar di tingkat Kab. Flores Timur.
Pada suatu malam di home base, Aba H. Abd. Syukur Alwan bercerita tentang jembatan gantung yang menghubungkan kali antara rumah Aba Ghafur ID dengan jalan menuju ke laliduli. Sambil bercerita, beliau bertanya, mengapa selama ini, kondisi jembatan penghubung itu tidak pernah mendapat perhatian pemerintah daerah? Satu pernyataannya yang sangat membekas dalam pikiran saya sampai hari ini, beliau mengatakan hal itu terkait faktor politik. Masyarakat Lamakera pada saat itu hanya mau menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP sebagai representasi partai Islam, tidak mau memilih Golkar. Dan mereka tak berpaling dan tak pernah peduli dengan intimidasi dan dampak politik terhadap preferensi dan afiliasi politik mereka tersebut.
Saya tidak ingin memori dan sejarah yang tidak bersahabat dari politik belah bambu itu terulang dan dialami kembali oleh warga Lamakera. Kita harus bersyukur bahwa wajah Lamakera hari ini sudah sangat jauh berubah, berkat kontribusi luar biasa dari Kanda Dr. H. M. Ali Taher Parasong, dengan tanpa menafikkan keberadaan adinda, Ahmad Johan.
Cerita Aba H. Abd. Syukur Alwan itu sengaja saya ungkap kembali sebagai refleksi, sekaligus napak tilas untuk melihat Lamakera dalam horizon yang lebih luas. Itu juga sebagai pembelajaran pada generasi yang lahir pasca-Orba tumbang, sehingga tidak gagap sejarah.
Lamakera Hari Ini Â
Sepanjang saya tahu, baru dalam 1 (satu) dekade terakhir ini anak kandung Lamakera dapat berhasil menggapai kursi dewan yang terhormat di Senayan, apalagi langsung 2 (dua) orang. Ini merupakan prestasi sekaligus prestise yang luar biasa untuk ukuran sebuah komunitas setingkat desa (kampung), yang bernama Lamakera. Padahal beberapa dekade sebelumnya, apalagi selama rezim Orde Baru, tak sekalipun anak Lamakera dapat menjejakkan kaki di gedung Kura-Kura Senayan. Ada pernah sekali, diwakili Almukarram Alm. H. Abd. Syukur Ibrahim Dasy sebagai anggota MPR, tapi itupun dari jalur utusan daerah/golongan. Hal ini juga sebenarnya terkait dengan masalah preferensi dan afiliasi politik. Secara historis-tradisonal sejak dahulu Lamakera merupakan basis (konstituen) partai Islam, khususnya NU.
Saya tahu bahwa secara historis Lamakera telah hadir dan sangat diperhitungkan di kancah politik regional. Belum lagi kalau kita menelususri jejak Lamakera dalam bidang pendidikan, hampir tidak terbantahkan, untuk ukuran regional, NTT, misalnya. Apalagi pada konteks kekinian, sudah ada anak kandung Lamakera, 2 (dua) orang sekaligus yang berhasil duduk sebagai anggota dewan yang terhormat.
Jejak kedua orang tersebut dapat ditelusuri dengan karya aktual dan faktual mereka hari ini seperti tertangkap indera di Lamakera. Satu, pengembangan pada bidang pendidikan, yakni sejak Kakanda H. M. Ali Taher Parasong menjadi anggota dewan, kemudian di belakang menyusul adinda Ahmad Johan, sudah mendapat perhatian yg sangat serius, terutama di Lamakera. Dan menurut saya aspek ini yang harus terus diperkuat untuk proses pemberdayaan SDM dalam rangka menciptakan posisi tawar (bargaining position) yang lebih kuat bagi anak Lewotanah untuk berkiprah dalam kancah yang lebih luas.
Dua, penataan dan perbaikan infrastruktur secara massif di Lamakera. Mulai dari masuknya instlasi dan pemasangan jaringan listrik dan air, pembangunan dermaga (pelabuhan) penghubung/penyeberangan antarpulau pesisir, pembuatan tanggul pembatas rob di pinggir pantai, dan yang paling penting adalah infrastruktur pendidikan dengan pembangunan dan renovasi lembaga pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan menengah. Selanjutnya konversi beberapa lembaga pendidikan yang sebelumnya dikelola oleh yayasan swasta menjadi sekolah negeri.
Tiga, pemetaan terhadap potensi daerah agar dapat dikembangkan baik dari sisi ekonomi, pariwisata (bahari), wisata budaya dan seni, maupun potensi sosial budaya lainnya, tentu saja juga politik unuk mendukung pengembangan SDM pada tataran pemberdayaan (empowerment) potensi umat. Maka perlu ada data base potensi SDM maupun potensi-potensi lainnya untuk mendukung terwujudnya "era baru" Lamakera.
The Future : Lamakera sebagai Epicentrum Peradaban Islam di NTT
Mungkinkah Lamakera mampu mengusung obsesi dan visi besar Dr. H. M. Ali Taher Parasong sebagai epicentrum peradabaran Islam di NTT? Sebuah pertanyaan yang wajar dan retoris ketika mencoba melakukan telaah historis dan membandingkan dengan kondisi faktual hari ini.
Sebagai pembicara kunci (keynote speaker) pada acara Halal Bi Halal Virtual Generasi Lamakera, dan juga sebagai anggota DPR RI, Kanda H. M. Ali Taher Parasong telah menjabarkan secara konkrit obsesi dan sekaligus visi besar ingin menjadikan Lamakera sebagai epicentrum peradaban Islam di tingkat regional, NTT.
Jalan ke arah sana untuk mewujudkan obsesi dan visi tersebut dalam satu dekade terakhir telah coba beliau rintis dan implementasikan. Pertama, dengan secara proaktif menginisiasi dan memberikan kontribusi langsung dalam merampungkan pembangunan Masjid Al-Ijtihad Lamakera, hingga dapat diresmikan pada tahun 2011 lalu. Padahal renovasi dan pembangunan simbol peradaban Islam Lamakera itu  sudah berbilang tahun. Dengan kiprah beliau di tingkat nasional, berikut melalui konektivitas yang beliau bangun, Alhamdulillah, masjid megah itu kembali menjadi pusat penyebaran dan penyemaian peradaban Islam.
Kedua, membangun infrastruktur pendidikan dan merintis jalan konversi lembaga pendidikan yang diselenggarakan yayasan swasta menjadi sekolah/madrasah negeri. Otomatis semua pembiayaan pendidikan menjadi kewajiban negara melalui alokasi anggaran di APBN.
Ketiga, masuknya instalasi dan jaringan listrik dan air. Sekedar mengingatkan bahwa selama masa rezim Orde Baru, Lamakera mendapat stigma negatif dalam hal preverensi dan afiliasi politik sehingga mengalami masa-masa suram, termarginalkan secara sosial-politik dan ekonomi.
Keempat, pembangunan infrasrtuktur pelabuhan penyeberangan, tanggul pantai untuk mencegah rob, dan infrastruktur jalan raya, tidak terlepas dari kehadiran beliau sebagai putra daerah.
Kelima, rencana besar untuk menjadikan Lamakera sebagai science centre (pusat keilmuan). Konsep ini bukan merupakan sebuah ilusi tanpa pijakan rasional, persoalannya adalah kita masih belum berpikir secara lebih luas untuk dapat menjadikan daerah lain di sekitar Lamakera sebagai satelit. Tak kalah penting adalah dukungan politik regional dan nasional, sehingga mencegah kemungkinan mendapat resistensi yang tidak perlu. Menyiapkan generasi Lamakera agar dapat melanjutkan pendidikan ke luar negeri, terutama ke negeri-negeri Islam. Syaratnya harus dapat menghafal (menjadi tahfid) Al-Qur'an 30 juz. Apalagi ada wacana untuk membangun lembaga perguruan tinggi setingkat universitas berlabel Lamakera.  Â
Penutup
Beberapa point tersebut menunjukkan itikad yang kuat dari beliau sebagai anak Lewotanah untuk berbuat yang terbaik bagi Lamakera. Pertanyaan kemudian muncul adalah apakah kita sebagai bagian yang tak terpisahkan dari warga Lamakera, mampu menangkap spirit itu dan menyambutnya secara positif dengan secara proaktif mewujudkan pada tingkat implementasi praktikal  di lapangan?
Sebab, saya khawatir dengan budaya guyub semu, seperti disinyalir salah seorang penanggap pada cara Halal Bi Halal, bahwa masyarakat Lamakera (kelihatan) karib (guyub) secara invidu tapi rapuh secara komunal (kolektif). Dalam perspektif lebih sederhana, saya lebih suka menyebutnya bahwa masyarakat Lamakera secara umum masih belum bisa melepaskan diri dari budaya menggunting dalam lipatan, menjegal kawan seiring. Belum begitu kuat terbentuk budaya untuk saling mendukung dan berjalan beriringan mencapai titik puncak (goal bersama). Â
Syaratnya cuma satu, jaga kepercayaan. Kanda H. M. Taher Parasong telah menegaskan dengan merujuk pada falsafah nenek moyang warga Lamaholot, teggu plenai, berru pai. Harus konsisten antara kata dan perbuatan, istiqomah dalam konsep dan ide, serta karya nyata. Antara gagasan besar dan kiprah sosial-keagamaan seiring sejalan. Pendeknya kepercayaan merupakan sebuah simbol pride tertinggi, sebab sekali lancung, seumur hidup tidak akan dipercaya! Â Â
Gagasan besar ini sudah dicetuskan dan sedang akan dijalankan. Apakah itu dapat berjalan lancar dan sukses tergantung kepada kita semua yang mengaku sebagai anak Lewotanah. Maka menjadi sangat relevan untuk menyambut ide Ahmad Johan (Anggota DPR RI FRaksi PAN) yang juga putra Lamakera, agar gagasan besar ini menjadi kesadaran bersama, yang pada tataran implementasinya menjadi gerakan dan tanggung jawab kita sebagai anak kandung Lamakera. Saatnya bergerak, sehingga gagasan tidak hanya berhenti di tataran ide, tapi mampu menyeruak, membumi, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
Wallahu a'lam bish-shawabi
Makassar, 6/6/2020
by eN-Te
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI