Namun demikian, saya tetap berharap kita tidak terjebak dalam pola pikir pragmatis-parokial karena politik partisan, yang sengaja membangun opini dengan narasi-narasi tendensius dengan melakukan simplifikasi secara pukul rata hanya karena ingin memberi kesan insinuatif dan stigma terhadap apa dan siapa yang tidak seirama dengan preferensi dan afiliasi politik sektoral dan personal masing-masing individu secara ansich. Karena model politik seperti ini, bagi saya, merupakan, (maaf, kalau boleh saya istilahkan!) "pembodohan strukrural", di mana hanya akan menanamkan dan mewariskan kebencian dalam alam bawah sadar dan itu akan terakumulasi secara terus menerus. Jujur harus dikatakan bahwa aura kebencian ini sangat terasa di timeline media sosial, terutama WA-WA grup dan facebook. Dan hal ini sangat tidak sehat dan tidak produktif pada tataran jangka panjang! Apalagi berobsesi membangun sebuah peradaban baru.
Penting saya harus memberi stressing seperti itu, karena kadang secara sadar atau tidak sadar kita cenderung bersikap apriori, menyimpulkan sesuatu berdasar asumsi subyektif yang cenderung manipulatif-spekulatif, lebih karena prasangka (prejudice) tanpa didukung data yang valid dan argumentasi  yang kuat dan komprehensif.
Maka tidak heran, lahirlah kemudian mindset curiga, yang berimplikasi pada pemikiran dikhotomis-diskriminatif. Pada posisi selanjutnya kita tidak lagi melihat sesuatu secara jernih dan proporsional (kritis-obyektif) terhadap sebuah fenomena sosial maupun politik dari posisi yang netral. Posisi di mana merupakan setting sosial yang tidak dipengaruhi oleh preferensi dan afiliasi politik praktis untuk menghindari bias kepentingan.
Peradaban vs Keadaban
Tanpa mengurangi rasa hormat, saya ingin mengatakan, kalau boleh saya jujur, fenomena itu, maaf, sangat terlihat dan auranya sangat terasa di kalangan generasi Lamakera hari ini. Aura negatif yang penuh dengan nafsu kebencian tanpa nalar. Dengan demikian saya berani mengatakan bahwa apa yang kita simpulkan terhadap sebuah fenomena, baik sosial maupun politik yang tertangkap, cenderung bias kepentingan, apalagi ditarik pada konteks dan  sistem politik aktual dan faktual hari ini.
Pertanyaan kemudian muncul adalah mungkinkah kita bermimpi dapat membangun sebuah peradaban baru dalam nuansa hati dan pikiran kita terkontaminasi oleh kepentingan politik praktis jangka pendek, yang lebih didominasi oleh politik kekuasaan? Atau dengan kata lain, mungkinkah sebuah peradaban baru (tentu saja dengan menyertai pula (inklud) nilai-nilai baru), yang sesuai dengan kaidah moral dan tuntunan agama, tapi membiarkan diri (hati dan pikiran) kita tenggelam dalam "alur permainan" para elit yang sarat kepentingan pragmatis jangka pendek?
Elit, yang saya maksud adalah kita semua, sebagai anak Lewotanah, yang sudah tercerahkan (terdidik/terpelajar) melalui transformasi pendidikan dan budaya karena telah melalui proses interaksi dan adaptasi dengan sistem sosial-budaya lain, yang secara sepintas, boleh jadi sangat berbeda dan menjadi antitesa budaya lokal (bawaan).  Atau sederhananya, bagaimana mungkin kita dapat secara elegan mencoba menata sebuah pride (kebanggaan) melalui cara-cara yang cenderung menjadi kontradiksi dari sikap dan nilai kehanifan sebagai makhluk mulia? Sifat yang cenderung ingin menuju ke kebaikan, yang sesuai fitrah kemanusiaan, di mana secara alamiah tetap ingin melakukan sesuatu yang baik sesuai dengan fitrahnya sebagai makhluk yang paling mulia.
Jika yang terekspresikan adalah hal yang sebalikya dari fitrah sebagai makhluk mulia, di mana lebih suka memelihara aura kebencian dan permusuhan hanya untuk menyalurkan syahwat politik temporer, mungkinkah agama telah mengalami reduksi makna dalam arti sesungguhnya? Apalagi secara sengaja ingin memelihara aura negatif dan berusaha  mengkamuflase dengan terus menerus memproduksi narasi-narasi yang tidak produktif hanya karena ingin terlihat sebagai sedang memperjuangkan kepentingan umat. Saya setuju ikhtiar baik kita untuk melihat kejayaan umat, tapi perlu catatan, harus dengan cara-cara yang benar dan bertanggung jawab. Harus sesuai dengan nilai-nilai luhur nan agung dari ajaran agama. Itulah keadaban.
Sentimen Primordial
Kebanggaaan (pride) umat itu harus dibangun dengan cara-cara yang terhormat dan itu perlu waktu. Bukan dengan cara instan, apalagi hanya bermodalkan sentimen primordial untuk mengkapitalisasi kebencian yang sungguh sangat bertolak belakang dengan misi memperbaiki akhlak, kerasulan Muhammad Saw. Bila itu yang terjadi maka saya ingin mengatakan bahwa kita telah dengan sengaja melakukan distorsi makna agama pada tataran praktikal.