Adalah seorang Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, setelah mendapat khabar dan menjenguk Ratna, plus memperoleh bonus "cerita lengkap", maka dengan semangat 45, mencuitkan pernyataan bahwa Ratna Sarumpaet telah mendapat perlakuan yang sangat tidak beradab, diperlakukan secara sangat keji. Tak lupa Fadli Zon mencoba menggiring opini bahwa penganiayaan yang dialami Ratna merupakan usaha percobaan untuk memberangus hak berdemokrasi dan pengabaian terhadap HAM. Telunjuk pun dengan jelas diarahkan pada rejim yang berkuasa saat ini. Bahwa rejim Jokowi bersika sangat represis dan telah lalai melindungi warga negaranya dari rasa aman.
Para konco Fadli Zon pun tak mau ketinggalan ikut cawe-cawe, membumbui "kasus" Ratna. Kompatriot Fadli Zon di pimpinan DPR, Fahri Hamzah tak mau ketinggalan, ikut bersuara lantang. Â Saran seorang dokter ahli bedah plastic, sekaligus penyanyi, Tompi, agar berhati-hati sebainya terlebih dahulu melakukan tabayyun pun ditampik mentah-mentah Fahri. Tompi malah disebut Fahri sebagai dokter produk revolusi mental ala Jokowi. Begitu pula dengan Beni K. Harman sampai harus menuding Jokowi telah mengerahkan preman peliharaannya untuk melakukan represi terhadap seorang wanita tua tak berdaya. Dalam pandangan Beni, apa yang dipraktekkan rejim Jokowi merupakan kebrutalan yang tak terampuni.
Tidak hanya berhenti sampai pada duo F, Beni K. Harman, Hanum Rais, Rachel Maryam, dan beberapa politisi oposisi lainnya. Bahkan seorang Prabowo Subiyanto, yang sedang menggadang asa menaiki tangga singgasana kepresidenan pun ikut pula nimbrung. Malah harus mengadakan jumpa pers. Sekedar menarik keluar kasus Ratna sebagai sebuah isu panas yang pantas "dikondisikan". Kali-kali saja hal itu berdampak positif terhadap elektabilitas electoralnya. Â
Maka seakan mendapat durian runtuh, Prabowo dan konco-konconya menjadikan "kasus" Ratna sebagai gorengan baru mendiskreditkan Pemerintahan Jokowi. Dengan serta merta, tanpa melakukan "investigasi" secara memadai untuk mengecek kebenaran informasi yang diterima, Prabowo langsung mengadakan jumpa pers (sumber). Namun tak dinyana dan disangka, optimisme dapat mendulang elektabilitas electoral melalui kasus Ratna, malah berbalik menjadi bumerang. Sikap grasa grusu seperti diakuinya sendiri, membuat Prabowo harus menerima julukan baru sebagai Capres Pembual, Capres Naif, dan Capres Pembuat Hoaks, dan berbagai penilaian miring lainnya.
Merasa salah membidik dan mencoba membangun alibi bahwa mereka juga sebagai korban hoaks Ratna, buru-buru Prabowo meminta maaf. Prabowo dan konco-konconya dengan sekelebat menghapus jejak Ratna dari kelompoknya, padahal baru kemarin mereka mengangkat Ratna dan menempatkan posisinya sejajar dengan Pahlawan Wanita dari Tanah Rencong Aceh, Cut Nyak Dien.
Jauh sebelum Prabowo merasa dibohongi oleh Ratna, Sang Carpes juga pernah sesumbar meramalkan bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030. Selidik punya selidik ternyata referensi Prabowo menyatakan Indonesia akan bubar pada tahun 2030 bersumber dari sebuah novel fiksi. Karena bersifat fiksi maka isi novel tersebut merupakan hasil rekaan dan khayalan sang penulis. Apa yang ada dalam novel fiksi tersebut merupakan imajinasi penulis semata tanpa merujuk pada suatu kondisi factual.
Rupanya Prabowo adalah seseorang yang sangat terobsesi pada hal-hal yang bersifat fiksi. Sehingga ketika dia membaca sebuah novel dan atau mendengar cerita dongeng seseorang dengan serta merta langsung dipercayai sebagai sebuah kebenaran. Meski yang membawa cerita tersebut sangat mungkin diragukan integritasnya.
Apa yang kita lihat hari ini dari seorang Prabowo sangat bertolak belakang dengan profil yang digembar-gemborkan pendukungnya selama ini. Bahwa Prabowo adalah seseorang yang dipersonifikasi sebagai seorang Jenderal yang tegas, Macan Asia, Soekarno kecil, dan julukan mentereng lainnya. Istilah kata, Prabowo adalah representasi kebanggaan bangsa ini.
Tapi semua julukan kebanggaan itu, luluh lantak hanya oleh sebuah pengakuan sumir dari seorang Ratna Sarumpaet. Sementara oleh Ratna, pengakuannya bahwa dia bohong  itu, berasal dari "SETAN" mana, dia juga tidak tahu. Clue "setan" ini bisa menjadi poin masuk untuk menelisik lebih jauh, mungkinkah ulah Ratna tersebut adalah benar-benar hanya merupakan inisiatifnya sendiri?
Jika memang "kegilaan" Ratna sampai dapat begitu mudah membohongi  Prabowo yang nota bene sebagai salah seorang Capres  pada kontestasi demokrasi Pilpres 2019 membuat kita harus mengurut dada. Sebegitu naifkah seorang Capres yang dijuluki Macan Asia dan Soekarno kecil sehingga dengan sangat  mudah dikibuli? Bagaimana mungkin seorang calon pemimpin bangsa tapi begitu letoi menanggapi sebuah isu (baca berita)? Beginikah model pemimpin yang dicari bangsa ini yang sangat mudah diprovokasi hanya oleh sebuah pengakuan sumir? Menjadikan buku novel fiksi sebagai rujukan untuk membuat keputusan? Mau jadi apa bangsa ini ke depan, bila pemimpin tidak selektif melakukan filterisasi atas semua infomasi yang masuk kepadanya, entah dengan instrument yang mungkin ada pada otoritasnya? Jangan-jangan, "ramalan" tentang Indonesia bubar benar-benar akan terwujud bila karakter pemimpin yang sangat letoy seperti ini diberi kepercayaan dan amanah memimpin 260 juta penduduk Indonesia.
Mungkinkah sikap Prabowo yang dengan begitu gampang mempercayai igauan seorang Ratna karena terpapar oleh asumsi Rocky Gerung tentang pembuat hoaks terbaik itu adalah penguasa? Jika demikian, sungguh Ratna memang seorang yang "jenius", dapat menaklukkan dua lelaki garang hanya dengan sekali gampar. Kasimaaan!