Oleh : eN-Te
"Sabda" Rocky Gerung
Konon khabarnya, Rocy Gerung, mantan Dosen Filsafat UI, yang sering nyasar menjadi Narasumber "serba bisa" dengan topic apapun di acara Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One, besutan sang Presiden yang bersuara serak-serak basah, Karni Ilyas, pernah "bersabda", bahwa "pembuat hoaks terbaik adalah Penguasa" (sumber). Tesis ini, lebih tepatnya asumsi prematur rupanya mungkin diilhami oleh kebiasaan menggerung Rocky, yang pernah menyatakan semua kitab suci itu fiksi.
Tesis Rocky ini oleh kaum bani kampret langsung ditelek dan sangat digandrungi. Bahkan pada takaran tertentu, tesis Rocky Gerung ini sudah dipercaya sebagai sebuah sabda. Karena itu, segala hal (informasi, berita, data, dll) yang berasal dan bersumber dari Pemerintah (rejim saat ini) selalu saja diragukan, bahkan dianggap sebagai sebuah kebohongan.
Pemerintah distigmatisasi dan diframing sedemikian rupa sebagai pembuat berita bohong kelas wahid. Tidak ada yang kredibel bila berasal dan bersumber dari corong Pemerintah. Karena bagi sebagian kelompok anak bangsa ini, khususnya dari faksi oposisi, informasi apapun yang disampaikan oleh Pemerintah mempunyai integritas dan kredibilitas yang sangat rendah, sehingga patut diragukan kesahihannya.
Untuk beberapa lama "sabda" Rocky Gerung ini mendapat legitimasi yang sangat kuat dari kelompok bani kampret. Tak tanggung-tanggung, nyaris semua elemen pendukung kelompok oposisi mempunyai sikap yang sama dalam merespon tesis Rocky, sang filosof nyasar. Semuanya mendukung penuh, bahwa tesis Rocky Gerung mempunyai relevansi actual yang tak terbantahkan. Meski harus diakui bahwa tesis yang dikemukakan oleh Rocky Gerung itu tidak mempunyai pijakan rasional ilmiah yang kuat. Karena tidak didukung oleh fakta-fakta yang saling berhubung dan terkait, lebih pada asumsi semata. Asumsi itu lahir dari proses berhalusinasi yang tak bernalar, sampai dia harus menggerung secara membabi buta.
Boleh jadi Rocky Gerung sangat terobsesi ingin bergabung dalam koalisi Pemerintah. Akan tetapi setelah sekian lama memendam rasa, keinginannya tidak pernah kesampaian. Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi tidak pernah melirik barang sejenak, meski si Rocky sudah berkoar-koar menjajakan harapannya. Sayangnya, obsesinya hanya tinggal menggantang asap, tidak pernah terwujud. Dalam keputusasaannya, maka secara perlahan dalam alam bawah sadar kemudian tersembul rasa kecewa yang mendalam, yang menghantarkan Rocky pada suatu titik, membenci Pemerintah. Dan personifikasi Pemerintah yang sedang berkuasa saat ini adalah Jokowi (JK), sehingga kebencian Rocky ditimpahkan sepenuhnya  kepada Jokowi.
Asa sudah tertolak, maka kecewapun bersemburan muncul. Manifestasi rasa kecewa Rocky yang mendalam terhadap Jokowi, kemudian dia kapitalisasi sedemikian rupa dibalut dengan rasa iri, dengki, dan hasad, sehingga melahirkan kebencian yang mendalam terhadap Pemerintahan Jokowi. Dalam puncak kebenciannya itu, Rocky kemudian mencari sebuah cara yang logis supaya dapat diterima public, khususnya kaum bani kampret.
Apa itu? Teori rasionalisasi. Mencoba mencari sebuah kondisi yang dapat menjadi penjelas yang sempurna terhadap kegagalannya mewujudkan mimpinya, bergabung dengan Pemerintah. Justifikasi yang dia temukan, mengingat dia juga telah terlanjur dinobatkan sebagai seorang filosof, adalah dengan melemparkan  sebuah teori, tepatnya tesis. Tesis yang mencoba mengiring opini public untuk membentuk stigmatisasi, bahwa Penguasa itu ghalibnya suka berbohong. Apalagi  Jokowi yang sejak awal menerima "tantangan" maju sebagai calon Presiden (Capres) pada 2014 sudah terlanjur dicap sebagai pemimpin yang tidak amanah oleh kompetitornya.
Berbagai stigma miring sengaja diframing sedemikian rupa untuk mengelabui alam bawah sadar masyarakat, khususnya kaum bani kampret agar tidak mempercayai Jokowi. Seorang Capres yang kemudian berhasil menjadi Presiden RI ke-7, yang kononnya menurut kaum bani kampret mempunyai asal "keturunan" yang tidak jelas, setelah menumbangkan Sang Jenderal Kardus.
Saking gregetan kelompok opisisi terhadap status Jokowi, sampai-sampai sebagian mereka harus menggadaikan kewarasan nalarnya sebagai manusia beradab, mencoba mengusulkan kepada Jokowi agar mau melakukan tes DNA untuk membuktikan hubungannya dengan sang Ibu tercinta. Sebuah permintaan yang tidak mempunyai relevansi logis terhadap keabsahan seseorang menjadi Presiden. Nah, pada titik kulminasi kekecewaan yang membuncah, maka tersembullah keluar "sabda" Rocky, bahwa pembuat hoaks terbaik adalah Penguasa (Pemerintahan Jokowi).
Gugurnya Tesis Rocky Gerung   Â
Rupanya setelah beberapa waktu lamanya tesis Rocky Gerung yang dianggap sebagai "sabda" itu  bertahan, maka pada Rabu, 3 Oktober 2018 lalu pun menemui ajalnya, rontok (sumber)). Adalah seorang Ratna Sarumpaet yang membuat Rocky Gerung kelimpungan mempertahankan tesisnya. Hanya dengan sebuah operasi plastic wajah keriput menjelang senja, Ratna Sarumpaet membuat seluruh petinggi oposisi kelojotan. Hanya dengan kamuflase telah dianiaya tiga lelaki tegap, Ratna Sarumpaet dengan enteng sambil melafaz sim salabim, abracadabra, tesis Rocky Gerung pun rontok bagai daun berguguran di musim kemarau. Ratna pun memproklamirkan dirinya sebagai pembuat hoaks terbaik. Bukan Pemerintah (rejim Jokowi), seperti kata Gerung.
Cerita bermula ketika pada 21 September 2018, Ratna Sarumpaet melakukan reparasi wajah melalui operasi plastic sedot lemak. Operasi plastic tersebut dia lakukan di RS Khusus Bina Estetika yang berlokasi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tujuan Ratna "mereparasi" wajahnya karena ingin terlihat cantik, mungkin juga berkaitan dengan momen ketika dia akan tampil dalam sebuah ajang internasional yang berlangsung di Chile, 7 Oktober 2018.
Namun maksud hati ingin cantik seperti Syahrini, eee, wajah Ratna malah terlihat bonyok, sehingga membuatnya terjebak. Empat hari berada di rumah sakit, Ratna pun memutuskan pulang. Tapi apa yang harus menjadi alasan yang masuk akal bila ketika sampai di rumah keluarganya bertanya, mengapa pula dengan wajahnya?
Maka muncullah sebuah ide brillian, mengarang novel fiksi yang berjudul, "Tiga Lelaki Tegap Telah Menganiayanya". Pikir Ratna, kali-kali saja suatu saat Prabowo dapat menjadikannya sebagai referensi dalam menulis pidato kenegaraannya, ketika kelak dia terpilih menjadi Presiden di negeri antah berantah.
Sayangnya scenario cerita penganiayaan yang semula hanya untuk konsumsi terbatas, malah membuat heboh seantero negeri. Hiruk pikukpun terjadi. Selang dua hari "novel fiksi" dirilis, Ratna pun dengan sadar meralat dan menarik kembali dari peredaran. Ratna membuat pengakuan yang mengejutkan (tentu saja untuk kelompok opisisi dan para bani kampretnya). Bahwa cerita tentang "Tiga Lelaki Tegap Telah Menganiayanya" itu hanya cerita rekaannya semata. Cerita itu tidak benar-benar terjadi dalam kehidupan  nyata.
Cerita khayal itu terpaksa dia buat hanya untuk menutup malu kepada keluarganya. Tapi, seperti bahasa bersayap yang dia sebutkan, entah "setan" mana yang menggerakkan sehingga cerita itu harus pula tersampaikan pada para "maniak" framing berita.
Pengakuan jujur Ratna bahwa cerita penganiayaan yang menimpa dirinya yang dilakukan oleh tiga lelaki "preman" suruhan Jokowi seperti dikhayalkan Beni K. Harman, hanyalah isapan jempol belaka. Maka dalam sekejap, asumsi Rocky Gerung bahwa pembuat hoaks terbaik adalah Penguasa, hancur berantakan berkeping-keping. Secara bersamaan, Ratna Sarumpaet pun memproklamirkan dirinya, sebagai pembuat hoaks terbaik (abad ini).
Naifnya Calon Presiden
Kisah pilu novel fiksi ala Ratna Sarumpaet pun menjadi booming. Padahal cerita rekaan yang dibuat Ratna itu hanya untuk konsumsi kalangan terbatas. Yakni keluarga, anak-cucu, menantunya. Sekedar untuk "menutup" malu kepada keluarga besarnya, bahwa ibu dan oma mereka yang sudah berumur lanjut, masih pingin tampil seksi. Biar anak-cucu dan menantu tidak terlalu ngotot bertanya secara selidik, mengapa pula harus operasi plastik?
Tapi di luar dugaan (jika niat Ratna hanya untuk menutup malu), ternyata cerita itu kemudian "mengalir jauh". Jauh bukan hanya dalam pengertian cerita itu berkembang, tapi merambah masuk pada wilayah politik.
Adalah seorang Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, setelah mendapat khabar dan menjenguk Ratna, plus memperoleh bonus "cerita lengkap", maka dengan semangat 45, mencuitkan pernyataan bahwa Ratna Sarumpaet telah mendapat perlakuan yang sangat tidak beradab, diperlakukan secara sangat keji. Tak lupa Fadli Zon mencoba menggiring opini bahwa penganiayaan yang dialami Ratna merupakan usaha percobaan untuk memberangus hak berdemokrasi dan pengabaian terhadap HAM. Telunjuk pun dengan jelas diarahkan pada rejim yang berkuasa saat ini. Bahwa rejim Jokowi bersika sangat represis dan telah lalai melindungi warga negaranya dari rasa aman.
Para konco Fadli Zon pun tak mau ketinggalan ikut cawe-cawe, membumbui "kasus" Ratna. Kompatriot Fadli Zon di pimpinan DPR, Fahri Hamzah tak mau ketinggalan, ikut bersuara lantang. Â Saran seorang dokter ahli bedah plastic, sekaligus penyanyi, Tompi, agar berhati-hati sebainya terlebih dahulu melakukan tabayyun pun ditampik mentah-mentah Fahri. Tompi malah disebut Fahri sebagai dokter produk revolusi mental ala Jokowi. Begitu pula dengan Beni K. Harman sampai harus menuding Jokowi telah mengerahkan preman peliharaannya untuk melakukan represi terhadap seorang wanita tua tak berdaya. Dalam pandangan Beni, apa yang dipraktekkan rejim Jokowi merupakan kebrutalan yang tak terampuni.
Tidak hanya berhenti sampai pada duo F, Beni K. Harman, Hanum Rais, Rachel Maryam, dan beberapa politisi oposisi lainnya. Bahkan seorang Prabowo Subiyanto, yang sedang menggadang asa menaiki tangga singgasana kepresidenan pun ikut pula nimbrung. Malah harus mengadakan jumpa pers. Sekedar menarik keluar kasus Ratna sebagai sebuah isu panas yang pantas "dikondisikan". Kali-kali saja hal itu berdampak positif terhadap elektabilitas electoralnya. Â
Maka seakan mendapat durian runtuh, Prabowo dan konco-konconya menjadikan "kasus" Ratna sebagai gorengan baru mendiskreditkan Pemerintahan Jokowi. Dengan serta merta, tanpa melakukan "investigasi" secara memadai untuk mengecek kebenaran informasi yang diterima, Prabowo langsung mengadakan jumpa pers (sumber). Namun tak dinyana dan disangka, optimisme dapat mendulang elektabilitas electoral melalui kasus Ratna, malah berbalik menjadi bumerang. Sikap grasa grusu seperti diakuinya sendiri, membuat Prabowo harus menerima julukan baru sebagai Capres Pembual, Capres Naif, dan Capres Pembuat Hoaks, dan berbagai penilaian miring lainnya.
Merasa salah membidik dan mencoba membangun alibi bahwa mereka juga sebagai korban hoaks Ratna, buru-buru Prabowo meminta maaf. Prabowo dan konco-konconya dengan sekelebat menghapus jejak Ratna dari kelompoknya, padahal baru kemarin mereka mengangkat Ratna dan menempatkan posisinya sejajar dengan Pahlawan Wanita dari Tanah Rencong Aceh, Cut Nyak Dien.
Jauh sebelum Prabowo merasa dibohongi oleh Ratna, Sang Carpes juga pernah sesumbar meramalkan bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030. Selidik punya selidik ternyata referensi Prabowo menyatakan Indonesia akan bubar pada tahun 2030 bersumber dari sebuah novel fiksi. Karena bersifat fiksi maka isi novel tersebut merupakan hasil rekaan dan khayalan sang penulis. Apa yang ada dalam novel fiksi tersebut merupakan imajinasi penulis semata tanpa merujuk pada suatu kondisi factual.
Rupanya Prabowo adalah seseorang yang sangat terobsesi pada hal-hal yang bersifat fiksi. Sehingga ketika dia membaca sebuah novel dan atau mendengar cerita dongeng seseorang dengan serta merta langsung dipercayai sebagai sebuah kebenaran. Meski yang membawa cerita tersebut sangat mungkin diragukan integritasnya.
Apa yang kita lihat hari ini dari seorang Prabowo sangat bertolak belakang dengan profil yang digembar-gemborkan pendukungnya selama ini. Bahwa Prabowo adalah seseorang yang dipersonifikasi sebagai seorang Jenderal yang tegas, Macan Asia, Soekarno kecil, dan julukan mentereng lainnya. Istilah kata, Prabowo adalah representasi kebanggaan bangsa ini.
Tapi semua julukan kebanggaan itu, luluh lantak hanya oleh sebuah pengakuan sumir dari seorang Ratna Sarumpaet. Sementara oleh Ratna, pengakuannya bahwa dia bohong  itu, berasal dari "SETAN" mana, dia juga tidak tahu. Clue "setan" ini bisa menjadi poin masuk untuk menelisik lebih jauh, mungkinkah ulah Ratna tersebut adalah benar-benar hanya merupakan inisiatifnya sendiri?
Jika memang "kegilaan" Ratna sampai dapat begitu mudah membohongi  Prabowo yang nota bene sebagai salah seorang Capres  pada kontestasi demokrasi Pilpres 2019 membuat kita harus mengurut dada. Sebegitu naifkah seorang Capres yang dijuluki Macan Asia dan Soekarno kecil sehingga dengan sangat  mudah dikibuli? Bagaimana mungkin seorang calon pemimpin bangsa tapi begitu letoi menanggapi sebuah isu (baca berita)? Beginikah model pemimpin yang dicari bangsa ini yang sangat mudah diprovokasi hanya oleh sebuah pengakuan sumir? Menjadikan buku novel fiksi sebagai rujukan untuk membuat keputusan? Mau jadi apa bangsa ini ke depan, bila pemimpin tidak selektif melakukan filterisasi atas semua infomasi yang masuk kepadanya, entah dengan instrument yang mungkin ada pada otoritasnya? Jangan-jangan, "ramalan" tentang Indonesia bubar benar-benar akan terwujud bila karakter pemimpin yang sangat letoy seperti ini diberi kepercayaan dan amanah memimpin 260 juta penduduk Indonesia.
Mungkinkah sikap Prabowo yang dengan begitu gampang mempercayai igauan seorang Ratna karena terpapar oleh asumsi Rocky Gerung tentang pembuat hoaks terbaik itu adalah penguasa? Jika demikian, sungguh Ratna memang seorang yang "jenius", dapat menaklukkan dua lelaki garang hanya dengan sekali gampar. Kasimaaan!
Wallahu a'lam bish-shawabi
Makassar, 10102018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H