Kasus tindakan pidana korupsi (tipikor) proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP) benar-benar memasuki babak baru. Polemik dan bahkan babak perang.
"This is my war", demikian ujar Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam konferensi pers yang digelar di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat (DPP PD) Jakarta (Selasa, 06/02/2018).
Mantan Presiden RI ke-6 itu pantas berang. Tak diduga dan dinyana, tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba dalam lanjutan sidang kasus tipikor e-KTP dengan mendudukkan mantan Ketua Umum (Ketum) Golkar dan mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto (Setnov), nama SBY ikut pula diseret-seret.
Adalah mantan kader Partai Demokrat (PD) dan mantan Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Mirwan Amir yang pertama kali menyebut dan menyeret nama mantan Presiden ke-6 itu masuk dalam pusaran kasus ketika hadir sebagai saksi dalam lanjutan sidang e-KTP. Mirwan, entah berdasarkan fakta atau ilusi, harus menyebut dan menyeret nama SBY dalam kesaksiannya. Kesaksian tersebut Mirwan berikan ketika menjawab pertanyaan salah satu anggota Penasehat Hukum (PH) Setnov, yakni Firman Wijaya yang menanyakan tentang keterkaitan partai pemenang pemilu 2009 dan SBY sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang Pemerintahan saat itu.
Kesaksian dan pernyataan Mirwan Amir dan Firman Widjaya kemudian berbuntut panjang. Segara setelah kesaksian yang diberikan dalam persidangan, kemudian dikonfirmasi ulang oleh Firman Widjaya sebagai PH Setnov melalui telekonfrence, PD pun bereaksi. Melalui Tim Hukum PD, Firman Wijaya kemudian dilaporkan ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri atas tuduhan pencemaran nama baik.
Ketika akan mau melaporkan Firman Wijaya ke Bareskrim Polri, Tim Hukum PD telah memberikan alternatif tawaran. Bahwa laporan itu tidak akan diteruskan bila Firman Wijaya bersedia menyatakan permohonan maaf. Permohonan maaf tersebut harus ditujukan kepada SBY sebagai pribadi maupun mantan Presiden, sekaligus juga kepada PD sebagai institusi di mana SBY juga sebagai Ketum-nya.
Tawaran Tim Hukum PD itu juga sudah masuk pada tataran aksi. Di mana pada suatu kesempatan Tim Hukum PD kemudian bertemu dengan Firman Wijaya. Tapi entah kenapa, "pertemuan" tersebut tidak memberikan solusi terbaik (win-win solution) bagi kedua belah pihak. Mungkin terdapat perbedaan penafsiran antara Tim Hukum PD dan Firman Wijaya sehingga kedua belah pihak bersikukuh pada penafsirannya masing-masing. Hingga akhirnya harus memaksa SBY turun gelanggang dan mendeklarasikan siap perang!
SBY melakukan konferensi pers untuk memberikan klarifikasi terhadap upaya percobaan pembunuhan karakter (character assanation) dirinya, dinastinya, dan partai yang dipimpinnya terkait penyebutan namanya dalam lanjutan sidang kasus e-KTP. Menurut SBY bahwa perkembangan terkini kasus e-KTP sungguh telah "menyimpang" dan mengalir jauh hingga merambah ke mana-mana. Menurut SBY, ada upaya rekayasa yang sengaja menarik sebanyak mungkin orang dan pihak dalam kasus e-KTP. Juga termasuk "mengkondisikan" dirinya dan PD sebagai master mind, yang ghalibnya tidak "tahu menahu" atas kongkalikong penggarongan kekayaan negara melalui proyek e-KTP hingga 2,3 triliyyun rupiah itu.
Seperti halnya peristiwa-peristiwa sebelumnya, di mana ketika ada "masalah" SBY selalu bersikap sangat reaktif. Entah itu terkait langsung maupun tidak langsung dengan pribadi (nama)-nya, the big family-nya, dinastinya, PD, ia senantiasa menunjukkan sikap sangat "proaktif" dalam memberikan proteksi maksimal atas berbagai kemungkinan negatif yang akan terjadi. Bahkan sikap reaktif nan resisten yang ditunjukkan SBY, kadang kemudian menimbulkan tafsir, bahwa SBY sedang memainkan melodrama, politik melankolis. Selalu ingin menempatkan dan menunjukkan bahwa diri dan the big family-nya sedang menjadi target politik tertentu. Seakan-akan ingin menampikan diri sebagai "korban" politik balas dendam.
Dalam dunia politik, dikenal ada istilah playing victim. Berlaku seakan-akan menjadi korban sebuah konspirasi (ke)jahat(an). "Playing victim, yaitu teknik memposisikan diri sebagai korban atau orang yang terluka demi mengelabui musuh dan lingkungan."
Apakah  yang sedang dilakukan dan dipertontonkan SBY juga bisa dikategorikan sebagai upaya playing victim? Mengingat strategi memposisikan diri seolah-olah sebagai "korban" sudah senantiasa diproyeksikan oleh SBY dalam berbagai situasi sosial dan politik Indonesia, sejak sebelum menjadi orang nomor satu di negeri ini maupun setelah lengser dan menjadi mantan saat ini. Karena itu, patut pula kita mencermati, sejauh mana upaya berlaku sebagai "korban" itu dapat memberikan implikasi positif bagi dinasti SBY dalam kontestasi pertarungan politik jelang 2019?
Wajar bila kita harus mencoba menimbang pernyataan perang, "this is my war", itu dalam konteks politik secara luas dan jelang pertarungan memperebutkan RI-1 pada 2019. Sebab, penyataan, "ini adalah perangku", tidak semata-mata berarti dan harus dilokalisasi dalam konteks penyebutan namanya dalam kasus e-KTP. Tapi dapat pula ditafsirkran lebih jauh, bahwa pernyataan tersebut tidak hanya sekedar gertak sambal terhadap orang-orang yang telah berani bermain api dengan menyeret-menyeret nama dan dinasti politiknya. Namun boleh jadi, sebagai strategi untuk dan akan segera secara all out keluar dari "benteng pertahanan" dan siap maju bertarung di medan laga.
Deklarasi perang yang dilontarkan SBY bisa jadi bermakna konotatif. Untuk jangka pendek, pernyataan perang itu sebagai maklumat terhadap Mirwan Amir dan Firman Wijaya agar bersiap diri untuk menghadapi tuntutan yang diajukannya melalui pelaporan atas diri mereka yang telah dengan sengaja berusaha melakukan pembunuhan karakter terhadap dirinya. Kasus e-KTP juga dapat menjadi entry point untuk mengukur rentang resonansi yang dapat bergetar jauh ke pelosok negeri terhadap elektabilitas dinasti SBY dan PD.
Momentum untuk membangkitkan sentimen publik dengan lakon melankolis akankah masih "berfungsi" efektif? Sebuah strategi tradisional di tengah persepsi masyarakat Indonesia yang masih relatif sangat labil. SBY dan PD sangat paham dengan psikologi rakyat Indonesia, yang sangat cepat merasa iba dan segera memberi simpati terhadap orang atau pihak lain yang merasa telah menjadi "korban" dan teraniaya.
Politik melodrama nan melankolis (playing victim) dalam konteks ke-Indonesia-an hingga hari ini masih tetap relevan. Hal itu harus benar-benar dimanfaatkan secara maksimal dan optimal untuk meraih dukungan politik. Jika lalai memanfaatkan momentum, sekecil apapun momentum itu hadir, jangan sampai membiarkan berlalu begitu saja. Sebab, kesempatan itu hanya datang sekali, tidak pernah akan berulang. Itu sudah menjadi hukum alam, dalil Tuhan yang tak pernah mungkin bisa dibantah.
Di sinilah relevansi "this is my war" ala SBY menemukan konteksnya. Bahwa tahun politik menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) adalah sebuah momentum bersejarah yang sungguh sayang dilewatkan begitu saja. Mumpung "putra mahkota" yang terlanjur diorbitkan, meski kemudian gagal dalam sebuah kesempatan kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sedang berwara-wiri ke seluruh pelosok negeri memperkenalkan diri.
Bagaimana hasil dari perang yang mungkin akan terjadi, mari kita lihat sambil duduk bersila, apakah benar SBY sedang diuji oleh Tuhan, ataukah sejarah akan membuktikan hal sebaliknya. Kata, "SBY: Kita Diuji Kembali oleh Tuhan dan Sejarah...".
Wallahu a'lam bish-shawabi
Makassar, 08022018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H