Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Akrobatik ala Setnov dan "Karma Politik"

17 November 2017   09:36 Diperbarui: 17 November 2017   16:58 2246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Skenario berikutnya yang dicobamainkan untuk mengulur-ulur waktu sambil mempersiapkan memori permohonan praperadilan kedua, Setnov melalui PH-nya mengajukan uji materi (judisial review). Pihak PH berdalih bahwa seseorang yang diduga terlibat dalam sebuah kasus tipikor apabila sedang mengajukan permohonan judisial review dan sedang dalam proses, maka penyidik wajib menghentikan seluruh rangkaian proses hukum yang sedang berlangsung sambil menunggu keputusan MK yang bersifat tetap dan mengikat.

Di samping itu, publik juga bertanya-tanya dengan langkah pihak Setnov  yang melaporkan dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo (AR) dan Saut Situmorang (SS) atas dugaan pemalsuan surat. Kita berharap langkah itu bukan sebagai trik untuk mengulur-ulur waktu untuk menghindar dari jerat hukum. Atau mencoba membuat "penawaran", kali-kali saja KPK akan surut nyali, sehingga kemudian "menghentikan" kasus Setnov.

Langkah-langkah yang coba dimainkan Setnov ini oleh sebagian ahli hukum dinilai sebagai akrobatik ala sirkus. Sebab, apa yang dipertontonkan pihak Setnov itu hanya menunjukkan kepanikan yang luar biasa. Meski semua trik dan skenario sudah dijalankan, tapi sejauh ini masih belum berhasil membentengi Setnov dari kemungkinan ditangkap KPK. Jangankan berhasil "mengkanalisasi"  persoalan Setnov dalam perspektif hukum yang benar dan adil, PH Setnov juga tidak dapat menghindarkan "bosnya" dari jeratan  DPO. Sebuah kondisi yang nyaris sama dengan penjahat-penjahat lainnya, meski penjahat lain itu hanya melakukan sebuah tindak pidana ringan, tapi karena melarikan diri sehingga harus masuk dalam daftar DPO.

Rupanya seorang Setnov sungguh sangat cerdas, bila tak mau disebut licik. Ketika semua jalur dan trik yang dimainkan menemukan jalan buntu, sementara waktu tak bisa lagi diajak kompromi, Setnov memilih untuk menyerahkan diri. Daripada menyandang status tambahan sebagai DPO, maka selang beberapa jam sebelum deadline waktu penyerahan diri, Setnov, menurut PH-nya hendak ingin mendatangi gedung KPK. Akan tetapi niat baik, (dalam istilah Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menyebutnya sebagai mens rea),  Setnov mendapat aral yang merintangi jalannya. 

Tak disangka dan tak diduga, dalam perjalanan ingin menuntaskan "hajatnya" ke gedung KPK, kendaraannya malah menabrak tiang listrik. Sehingga oleh Saut Situmorang, entah dengan nada guyon atau menyindir, mengatakan bahwa kalau seandainya ketika didatangi Tim KPK ke rumah untuk menjemput, Setnov tidak kabur, kemungkinan musibah kecelakaan yang menimpahnya tidak akan pernah terjadi (kompas TV, tadi malam, Kamis, 16/11/17).

Mungkin musibah ini yang dinamakan "karma politik", karena Setnov terlalu berani mempermainkan perasaan sebagian besar warga bangsa yang mencintai negeri ini. Warga bangsa yang mengharapkan negeri ini dapat tegak berdiri di atas kebenaran hukum dan keadilan.

Setnov seharusnya sudah mulai menyadari bahwa apa yang dialami tadi malam itu sebagai bentuk teguran langsung agar tidak lagi melakukan trik-trik yang dengan mudah dapat dibaca (ditebak). Tambahan pula dengan melakukan trik yang mencoba "mencelakai" diri sendiri agar terhindar dari proses hukum hanya menunjukkan mental pengecut. Bukan sebagai orang yang tak tersentuh sebagaimana dipersonifikasikan pada dirinya selama ini. Karena Tuhan, pada batas-batas tertentu, ketika melihat hamba-Nya berlaku sombong dan merasa lebih berkuasa, akan dengan segera menghentikannya. Pada konteks ini orang kemudian menafsirkannya sebagai karma itu berlaku.

Publik dan warga bangsa ini berharap KPK tak surut menghadapi langkah hukum dan trik-trik pihak Setnov. KPK harus membuktikan bahwa tidak ada yang kebal hukum di negeri ini. Seseorang warga negara yang diduga terlibat dalam sebuah tindak pidana, apalagi kasus tipikor harus tetap diproses dan dihukum seberat-beratnya tanpa memandang status sosial dan jabatan yang disandang. KPK telah melakukan sebuah langkah maju, tinggal satu lagi langkah berikutnya menangkap dan memenjarakan Setnov atas kejahatan yang telah dilakukan (bila terbukti nanti di pengadilan).

Apakah nasib Setnov akan seperti Nazaruddin (mantan Bendahara Umum) Partai Demokrat? Setelah masuk dalam daftar DPO dan melarikan diri ke luar negeri, kemudian ditangkap dan akhirnya dikerangkeng di balik terali besi. Jika kondisi ini yang terjadi, maka "kesaktian" Setnov benar-benar berada di ujung tebing. Setnov tak lagi sebagai the untouchable man!

Setnov, berhentilah bersandiwara! Karena "karma" itu ada.

Wallahu a'lam bish-shawabi

Makassar, 17/11/2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun