Â
Ketua Umum (Ketum) Partai Golongan Karya (Golkar) dan sekaligus juga Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Setya Novanto (Setnov) mungkin lagi galau dan gamang. Antara mematuhi ketentuan Undang-undang untuk hadir memberi kesaksian di depan penyidik KPK, baik sebagai saksi atas tersangka lain maupun menjadi tersangka kasus tindak pidana korupsi (tipikor) Kartu Tanda Penduduk elektromik (KTP-e), atau harus mematuhi 'skenario' penasehat hukum (PH).
Ketika Hakim praperadilan memenangkan pihaknya, seorang Setnov merasakan perasaan yang sangat happy. Bahagia karena telah memenangkan sebuah pertempuran melawan KPK. Kemenangan mana diperoleh dengan cara yang sangat heroik dalam perspektif Setnov dan tim PH-nya, yakni berhasil "melepaskan" diri dari status tersangka kasus tipikor.Â
Hakim yang mengadili permohonan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh KPK mengabulkan permohonannya. Sehingga Setnov pantas enjoy dan bahagia, di mana hal itu dibuktikan dengan langsung sembuh dari sakit. Meski ketika ditetapkan menjadi tersangka dulu, Setnov merasa 'shock' sehingga langsung jatuh sakit karena tidak siap mental menerima kenyataan pahit itu.
Sempat harus berada di ruang perawatan di rumah sakit akibat tidak siap menerima kenyataan pahit ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, pada akhirnya Setnov (untuk sementara) dapat membuktikan kepada publik bahwa ia memang benar-benar sakti (the untouchable man). Hal mana melalui proses praperadilan, Setnov dengan jenius menumbangkan KPK dengan memenangkan permohonannya, sekaligus pada saat bersamaan menggugurkan pula statusnya sebagai tersangka.
Tapi kini rupanya, trik menghindar dari pemeriksaan penyidik KPK dengan "berpura-pura" sakit tidak lagi mempan. Setnov dan Tim PH-nya harus pula berhitung ulang, meski mekanisme praperadilan masih sangat terbuka ruang diberikan oleh Undang-undang. Setnov untuk sementara "mengabaikan" praperadilan, karena boleh jadi Tim PH-nya telah memberikan peringatan (warning) kepadanya untuk tidak menempuh langkah yang pernah membuat perasaannya berbunga-bunga. Sebab mungkin dalam pandangan PH, menempuh langkah praperadilan dapat menjadi bumerang yang dapat memukul balik pihaknya.
PH mungkin menyadari bahwa polemik tentang putusan Hakim praperadilan yang diajukan sebelumnya sampai hari ini belum begitu tuntas. Maka jika kembali memilih langkah hukum dengan mengajukan praperadilan kembali atas penetapannya sebagai tersangka, maka hal itu akan menimbulkan preseden buruk, baik bagi diri dan citra politiknya maupun bagi penegakan hukum. Dalam posisi seperti itu, Setnov menjadi galau dan gamang. Sehingga boleh jadi karena ketidaksiapan mental, Setnov memilih untuk tidak menyerahkan diri, dan lebih memilih untuk masuk dalam daftar orang yang dicari (DPO) atas sebuah kasus pidana, apalagi kasus tipikor.
Dalam kondisi sulit itu, berbagai akrobatik ala sirkus pun dimainkan Setnov dan Tim PH-nya. Antara lain mencoba menafsirkan kembali ketentuan UU MD3 yang salah satu pasalnya mensyaratkan apabila seorang anggota DPR dipanggil untuk diperiksa dalam sebuah tindak pidana maka penyidik harus terlebih dahulu mengantongi ijin tertulis dari Presiden.Â
Meski pihak Setnov boleh jadi mengerti substansi pasal tersebut yang dapat tidak berlaku apabila memenuhi tiga kondisi. Yakni, apabila seorang tersangka itu memenuhi 3 syarat berikut, 1) tertangkap tangan, 2) tindakan pidana itu akan mendapat sanksi mati atau kurungan seumur hidup, dan 3) terlibat dalam tindak pidana khusus. Jika salah satu dari tiga prasyarat ini terpenuhi maka ijin tertulis Presiden menjadi gugur (tidak berlaku) bagi seorang anggota DPR yang diduga terlibat dalam sebuah tindak pidana).
Tipikor oleh banyak pihak dan ahli hukum pidana dikategorikan sebagai tindak pidana khusus. Karena itu seorang anggota DPR yang dipanggil untuk diperiksa oleh penyidik dalam sebuah kasus tipikor maka wajib memenuhi panggilan tanpa harus menunggu persyaratan ijin tertulis dari Presiden. Termasuk dalam hal ini adalah seorang Setnov yang diduga dan telah menjadi tersangka kasus tipikor KTP-e.
Menghadapi banyak penolakan karena terus berdalih tentang ketentuan hukum seorang anggota DPR mendapat ijin tertulis dari Presiden bila diperiksa, pihak Setnov tak mati akal. Lagi-lagi berlindung di balik keanggotaan sebagai anggota legislatif, apalagi sebagai seorang Ketua, menurut PH-nya, Setnov memiliki hak kekebalan hukum (hak immunitas). Padahal hak immunitas itu tidak serta merta berlaku bila seorang anggota DPR diduga terlibat dalam sebuah konspirasi besar menggarong fulus yang merugikan keuangan negara. Terlibat dalam kasus tipikor.
Skenario berikutnya yang dicobamainkan untuk mengulur-ulur waktu sambil mempersiapkan memori permohonan praperadilan kedua, Setnov melalui PH-nya mengajukan uji materi (judisial review). Pihak PH berdalih bahwa seseorang yang diduga terlibat dalam sebuah kasus tipikor apabila sedang mengajukan permohonan judisial review dan sedang dalam proses, maka penyidik wajib menghentikan seluruh rangkaian proses hukum yang sedang berlangsung sambil menunggu keputusan MK yang bersifat tetap dan mengikat.
Di samping itu, publik juga bertanya-tanya dengan langkah pihak Setnov  yang melaporkan dua pimpinan KPK, Agus Rahardjo (AR) dan Saut Situmorang (SS) atas dugaan pemalsuan surat. Kita berharap langkah itu bukan sebagai trik untuk mengulur-ulur waktu untuk menghindar dari jerat hukum. Atau mencoba membuat "penawaran", kali-kali saja KPK akan surut nyali, sehingga kemudian "menghentikan" kasus Setnov.
Langkah-langkah yang coba dimainkan Setnov ini oleh sebagian ahli hukum dinilai sebagai akrobatik ala sirkus. Sebab, apa yang dipertontonkan pihak Setnov itu hanya menunjukkan kepanikan yang luar biasa. Meski semua trik dan skenario sudah dijalankan, tapi sejauh ini masih belum berhasil membentengi Setnov dari kemungkinan ditangkap KPK. Jangankan berhasil "mengkanalisasi"  persoalan Setnov dalam perspektif hukum yang benar dan adil, PH Setnov juga tidak dapat menghindarkan "bosnya" dari jeratan  DPO. Sebuah kondisi yang nyaris sama dengan penjahat-penjahat lainnya, meski penjahat lain itu hanya melakukan sebuah tindak pidana ringan, tapi karena melarikan diri sehingga harus masuk dalam daftar DPO.
Rupanya seorang Setnov sungguh sangat cerdas, bila tak mau disebut licik. Ketika semua jalur dan trik yang dimainkan menemukan jalan buntu, sementara waktu tak bisa lagi diajak kompromi, Setnov memilih untuk menyerahkan diri. Daripada menyandang status tambahan sebagai DPO, maka selang beberapa jam sebelum deadline waktu penyerahan diri, Setnov, menurut PH-nya hendak ingin mendatangi gedung KPK. Akan tetapi niat baik, (dalam istilah Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menyebutnya sebagai mens rea), Setnov mendapat aral yang merintangi jalannya.Â
Tak disangka dan tak diduga, dalam perjalanan ingin menuntaskan "hajatnya" ke gedung KPK, kendaraannya malah menabrak tiang listrik. Sehingga oleh Saut Situmorang, entah dengan nada guyon atau menyindir, mengatakan bahwa kalau seandainya ketika didatangi Tim KPK ke rumah untuk menjemput, Setnov tidak kabur, kemungkinan musibah kecelakaan yang menimpahnya tidak akan pernah terjadi (kompas TV, tadi malam, Kamis, 16/11/17).
Mungkin musibah ini yang dinamakan "karma politik", karena Setnov terlalu berani mempermainkan perasaan sebagian besar warga bangsa yang mencintai negeri ini. Warga bangsa yang mengharapkan negeri ini dapat tegak berdiri di atas kebenaran hukum dan keadilan.
Setnov seharusnya sudah mulai menyadari bahwa apa yang dialami tadi malam itu sebagai bentuk teguran langsung agar tidak lagi melakukan trik-trik yang dengan mudah dapat dibaca (ditebak). Tambahan pula dengan melakukan trik yang mencoba "mencelakai" diri sendiri agar terhindar dari proses hukum hanya menunjukkan mental pengecut. Bukan sebagai orang yang tak tersentuh sebagaimana dipersonifikasikan pada dirinya selama ini. Karena Tuhan, pada batas-batas tertentu, ketika melihat hamba-Nya berlaku sombong dan merasa lebih berkuasa, akan dengan segera menghentikannya. Pada konteks ini orang kemudian menafsirkannya sebagai karma itu berlaku.
Publik dan warga bangsa ini berharap KPK tak surut menghadapi langkah hukum dan trik-trik pihak Setnov. KPK harus membuktikan bahwa tidak ada yang kebal hukum di negeri ini. Seseorang warga negara yang diduga terlibat dalam sebuah tindak pidana, apalagi kasus tipikor harus tetap diproses dan dihukum seberat-beratnya tanpa memandang status sosial dan jabatan yang disandang. KPK telah melakukan sebuah langkah maju, tinggal satu lagi langkah berikutnya menangkap dan memenjarakan Setnov atas kejahatan yang telah dilakukan (bila terbukti nanti di pengadilan).
Apakah nasib Setnov akan seperti Nazaruddin (mantan Bendahara Umum) Partai Demokrat? Setelah masuk dalam daftar DPO dan melarikan diri ke luar negeri, kemudian ditangkap dan akhirnya dikerangkeng di balik terali besi. Jika kondisi ini yang terjadi, maka "kesaktian" Setnov benar-benar berada di ujung tebing. Setnov tak lagi sebagai the untouchable man!
Setnov, berhentilah bersandiwara! Karena "karma" itu ada.
Wallahu a'lam bish-shawabi
Makassar, 17/11/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H