Meski mereka menyadari sepenuhnya, sebagaimana istilah Buya Syafi'i Ma'arif bahwa sistem khilafah itu adalah gerakan utopis. Gegara 'sindiran' Buya Syafi'i ini sehingga seorang mantan Menteri ketika diwawancarai dalam tabligh akbar yang dimotori HTI di Gelora Bung Karno sampai dengan gusar mengatakan mereka yang menilai khilafah sebagai gerakan utopia itu sebagai orang gila atau tidak waras. Bagi sang Menteri ini, khilafah adalah sudah menjadi nubuwat Nabi, sehingga harus dan wajibkan dilaksanakan.
Dengan demikian mencermati pola gerakan yang mengusung khilafah ini sebenarnya bermotif politik, dan hanya untuk berambisi meraih kekuasaan politik. Karena itu sudah tepat bila negara harus hadir dan menunjukkan sikap tegas. Maka disahkan Perppu Ormas menjadi UU adalah sebuah momentumbagi Pemerintah  agar segera menertibkan dan mematikan embrio gerakan-gerakan yang berpotensi melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah. Sebab, mengutip Gus Sholah (K.H. Sholahuddin Wahid) "bahwa khilafah itu belum pernah ada di dunia terutama di Indonesia, karena berpotensi menghancurkan negara" (sumber).
Jika sudah demikian, pertanyaan kemudian timbul adalah hendak ke mana (quovadis) HTI pasca Perppu Ormas disahkan menjadi UU? Akankah HTI dengan segera bersalin rupa dan berkamuflase dengan berlindung di balik jargon NKRI Bersyariah? Padahal pada esensinya keduanya, khilafah dan NKRI Bersyariah sama saja memperjuangkan misi yang sama. Atau demi aman, boleh bersikap munafik?
Wallahu a'alam bish shawab
Makassar, 26/10/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H