Oleh : eN-Te
Isu kebangklitan Partai Komunis Indonesia (PKI) setiap tahun pada bulan September senantiasa menjadi isu laris manis. Memori publik senatiasa di-update untuk mengingat peristiwa kelam yang menjadi noda hitam perjalanan bangsa ini.
Bangsa ini pada setiap bulan September saban tahun senantiasa diingatkan untuk terus waspada terhadap kebangkitan paham komunis yang pernah meninggalkan jejak sejarah yang kelam melalui sebuah tragedi berdarah. Tragedi berdarah itu kemudian dikenal sebagai pemberontakan Gerakan 30 September (G30S) yang ditengarai didalangi oleh PKI.
Gegara peristiwa berdarah yang terjadi pada dinihari 30 September 1965 yang memakan korban enam jenderal dan satu perwira menengah itu telah membuat bangsa ini terbenam dalam rasa trauma yang mendalam. Akan tetapi, kondisi traumatis itu kadang pula, bahkan sangat sering dimanfaatkan sebagai 'bumbu penyedap rasa' untuk memuluskan kepentingan politik kelompok-kelompok tertentu.
Mereka senantiasa menganjuran untuk tetap berhati-hati dan senantiasa bersikap waspada terhadap kemungkinan munculnya paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila. Bahkan ada yang menyebut bahwa saat ini sudah ada sekitar 15 juta pengikut PKI yang sudah tersebar di seluruh Indonesia.
Bulan September setiap tahun adalah momentum yang senantiasa dimanfaatkan secara sempurna untuk mengangkat isu kebangkitan paham komunis/PKI. Meski banyak pula yang meragukan tesis itu, bahwa sekarang sedang terjadi proses kebangkitan PKI. Bagi kelompok ini, isu kebangkitan PKI sengaja digulirkan untuk memanfaatkan momentum sebagai persiapan menjelang pesta demokrasi Pilpres 2019.
Lantas bagaimana Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) memandang masalah paham kominis dan isu kebangkitan PKI ini? Maka berikut saya mencoba mendeskripsikan ulang paparan salah satu Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai (NP), yang hadir dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) yang disiarkan TV One pada tanggal 19 September 2017 lalu, yang mengangkat tema, "PKI, Hantu atau Nyata?".
***
Pada acara ILC yang membahas isu PKI, yang mengambil latar peristiwa penyerbuan dan pengepungan kantor Lembaga bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu (ketika mendapat giliran berbicara), NP menyampaikan 'kesaksiannya' dan pandangannya mengenai masalah paham komunis dan PKI ini. Menurut NP bahwa dia tidak hadir dalam kegiatan atau acara yang digagas dan dilaksanakan oleh LBH Jakarta pada hari pertama dan kedua (Sabtu-Ahad), yang ditengarai mengangkat tema meluruskan sejarah peristiwa 1965.
Menurut NP ada dua sumber informasi yang menyampikan tentang penyerbuan kantor LBH Jakarta yang ia peroleh. Pertama berawal dari pemberitahuan oleh adik sepupu NP yang juga seorang pengacara di Jogja. Adik sepupu NP itu menyampikan kepada NP melalui SMS bahwa gedung LBH sedang dikepung oleh sejumlah massa dan ormas. Sedang informasi kedua berasal dari Prof. Dr. Mukhtar Pakpahan yang mengirimkan sms.
Mendapat pemberitahuan itu, maka NP segera bergegas balik ke Jakarta, meski ia sendiri baru tiba di rumah. Bahkan menurut pengakuannya, dia belum sempat lagi berganti pakaian. NP tiba di lokasi pengepungan, yakni LBH Jakarta sekitar pukul 22.30 WIB malam.
Ketika tiba di lokasi penyerbuan, NP melihat sudah ada Kapolda Metro Jaya juga baru tiba. Sudah ada ribuan orang di lokasi kantor LBH. Meski begitu menurut NP, ia disambut antusias oleh para pengepung (demonstran). Kemudian oleh pimpinan demonstran, NP dipersilahkan untuk menyampaikan orasi sehubungan dengan masalah yang lagi dipersoalkan.
NP mengatakan bahwa orasinya lebih pada usaha untuk menetralisir suasana. Menghormati mereka yang menolak dan juga berorientasi pada menyelamatkan mereka yang terkepung di dalam.
Pada kesempatan orasi itu, NP menyampaikan apresiasi kepada pihak keamanan, khusunya kepada Kapolda Metro Jaya yang akan menangani situasi secara baik tanpa korban. Menurut NP bahwa dia yakin dan pastikan Kapolda Metro  akan dapat meminimalisir ekses penegakkan hukum dengan cara-cara yang lebih keras. Di samping itu, NP juga menyampikan terima kasih dan memberi apresiasi kepada para demonstran, yang menurutnya telah menyampaikan aspirasi dengan baik. Meski pada kenyataannya beberapa petugas keamanan terluka dan kantor LBH rusak.
Setelah menyampaikan kronologis dan respon yang diterima setelah kehadirannya di lokasi penyerbuan (kantor LBH Jakarta), NP kemudian menyampaikan pandangannya terkait isu bangkitnya paham komunis dan PKI di Indonesia. Termasuk pula mengenai peristiwa 1965. Ada tiga pandangan yang disampikan NP mengenai peristiwa berdarah 1965 itu.
Pertama, bahwa peristiwa 1965 adalah peristiwa kelam bangsa Indonesia. Bagi NP, bahwa peristiwa 1965 merupakan noda hitam bangsa yang perlu kita diskusikan, dialogkan, wacanakan untuk mencari solusi yang terbaik. Menurut NP, perdebatan yang paling penting peristiwa 1965 adalah sebelum tanggal 30 September 1965 dan sesudah tanggal 30 September 1965. Ini kuncinya.
Peristiwa sebelum 30 September (1965) dari perspektif pihak yang memposisikan diri sebagai korban. Faktanya memang ada enam jenderal dan satu pamen yang jadi korban. Dan persitiwa itu mendapat perhatian yang serius. Karena hampir lebih dari 30 tahun atau 40 tahun atau 50 tahun, kita didoktrin melalui buku, melalui film, dan cerita demi cerita, tutur lisan, dlsb. Karena itu, perisitiwa sebelum tahun 1965, sedikit nyaris sempurna dalam perspektif korban (keluarga para jenderal), ujar NP.
Jadi persis menurut pihak korban sedikit sempurna dalam konteks ini. Tetapi, dalam perspektif anggota PKI, peristiwa 1965 itu belum selesai, karena setelah 30 September (1965) ke atas, kata NP ada pergerakan.
NP menyebutkan bahwa pergerakan yang dimaksud adalah pergerakan yang dilakukan the state actor (aktor negara) setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan. (Soeharto) menggunakan kekuasaan untuk melakukan pembersihan total, mulai dari Jakarta, Jawa Tengah, kemudian sampai operasi Jawa Timur. Bahkan dalam kaca mata NP, Â sampai ada dugaan terbunuhnya Gubenrnur Sutedja di Bali.
Merujuk pada film G30S/PKI karya Arifin C. Noer, menurut NP bahwa  kalau peristiwa setelah 30 September 1965, tidak muncul. Karena itu, mungkin menurut pihak korban yang dibantai (anggota PKI dan simpatisannya), merasa tidak puas. Tidak ditampilkan  di dalam film dan cerita dalam buku-buku, kurang lengkap. Karena itu, menurut pemahaman NP, dua perspektif ini harus dijernihkan.
Kedua, dari sisi hukuman, perspektif hukum dan HAM. Menurut NP, Komnas HAM memandang bahwa peristiwa sebelum 30 September (1965), ini baru pandangan bukan sikap. Karena sikap hukum HAM, human right justice system itu adalah pelakunya selalu the state actor (aktor negara), maka dimaknai peristiwa sebelum 30 September (1965) adalah nonstate actor (bukan aktor negara).
Maka menurut NP, hukumannya adalah tidak di human right tetapi di criminal justice system, pidana. Itu pola pandangannya dalam konteks human right. Tapi setelah 30 September 1965 ke atas itu jelas dalam rangka pemantapan Pancasila, penguatan NKRI, pengendalian keamanan Nasional dan ketertiban, maka dilakukan secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh negara, the state actor. Korbannya adalah rakyat sipil, maka human right. Ini di dalam konteks Komnas HAM.
Ketiga, NP juga menyampaikan terkait dengan LBH. Menurut NP, penyampaian pikiran, perasaan, dan pendapat, dijamin dalam berbagai instrumen hukum nasional. Baik itu UUD 1945 pasal 28 huruf (i) sampai seluruh instrumen hukum, seperti UU 39, UU 12/2005 tentang ratifikasi konvenansi Sipil dan dan Politik. Oleh karena itu, Komnas HAM memaklumi apabila seluruh aspek yang terkait dengan variabel menyangkut penyampaian pikiran, perasaan, dan pendapat. Menurut NP, hal itu adalah salah satu pilar penting sebagai sebuah negara demokrasi.
Berdasarkan pandangan tersebut, maka NP menghormati apa yang dilakukan keluarga korban 1965, tapi juga menghormati mereka yang protes (penentang PKI). Karena itu, NP menganjurkan agar negara harus mengambil alih menjernihkan kisruh 'tafsir' tentang isu kebangkitan PKI ini. Karena tidak bisa kita membiarkan keluarga para Pahlawan Revolusi untuk bersikap defensif dengan kondisi yang ada, status quo, dalam perspektif sejarah ini.Â
Di lain pihak, juga negara tidak bisa membiarkan para korban 1965 menderita. Negara harus mengambil alih untuk menjernihkan sebuah proses sejarah, meski sampai kapan pun akan menjadi perdebatan panjang. Jadi  menurut NP negara harus mengambil alih untuk menyelesaikan noda hitam bangsa ini secara adil dan jujur.
Wallahu a'alam bish shawab
Makassar, 23092017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H