Ketika tiba di lokasi penyerbuan, NP melihat sudah ada Kapolda Metro Jaya juga baru tiba. Sudah ada ribuan orang di lokasi kantor LBH. Meski begitu menurut NP, ia disambut antusias oleh para pengepung (demonstran). Kemudian oleh pimpinan demonstran, NP dipersilahkan untuk menyampaikan orasi sehubungan dengan masalah yang lagi dipersoalkan.
NP mengatakan bahwa orasinya lebih pada usaha untuk menetralisir suasana. Menghormati mereka yang menolak dan juga berorientasi pada menyelamatkan mereka yang terkepung di dalam.
Pada kesempatan orasi itu, NP menyampaikan apresiasi kepada pihak keamanan, khusunya kepada Kapolda Metro Jaya yang akan menangani situasi secara baik tanpa korban. Menurut NP bahwa dia yakin dan pastikan Kapolda Metro  akan dapat meminimalisir ekses penegakkan hukum dengan cara-cara yang lebih keras. Di samping itu, NP juga menyampikan terima kasih dan memberi apresiasi kepada para demonstran, yang menurutnya telah menyampaikan aspirasi dengan baik. Meski pada kenyataannya beberapa petugas keamanan terluka dan kantor LBH rusak.
Setelah menyampaikan kronologis dan respon yang diterima setelah kehadirannya di lokasi penyerbuan (kantor LBH Jakarta), NP kemudian menyampaikan pandangannya terkait isu bangkitnya paham komunis dan PKI di Indonesia. Termasuk pula mengenai peristiwa 1965. Ada tiga pandangan yang disampikan NP mengenai peristiwa berdarah 1965 itu.
Pertama, bahwa peristiwa 1965 adalah peristiwa kelam bangsa Indonesia. Bagi NP, bahwa peristiwa 1965 merupakan noda hitam bangsa yang perlu kita diskusikan, dialogkan, wacanakan untuk mencari solusi yang terbaik. Menurut NP, perdebatan yang paling penting peristiwa 1965 adalah sebelum tanggal 30 September 1965 dan sesudah tanggal 30 September 1965. Ini kuncinya.
Peristiwa sebelum 30 September (1965) dari perspektif pihak yang memposisikan diri sebagai korban. Faktanya memang ada enam jenderal dan satu pamen yang jadi korban. Dan persitiwa itu mendapat perhatian yang serius. Karena hampir lebih dari 30 tahun atau 40 tahun atau 50 tahun, kita didoktrin melalui buku, melalui film, dan cerita demi cerita, tutur lisan, dlsb. Karena itu, perisitiwa sebelum tahun 1965, sedikit nyaris sempurna dalam perspektif korban (keluarga para jenderal), ujar NP.
Jadi persis menurut pihak korban sedikit sempurna dalam konteks ini. Tetapi, dalam perspektif anggota PKI, peristiwa 1965 itu belum selesai, karena setelah 30 September (1965) ke atas, kata NP ada pergerakan.
NP menyebutkan bahwa pergerakan yang dimaksud adalah pergerakan yang dilakukan the state actor (aktor negara) setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan. (Soeharto) menggunakan kekuasaan untuk melakukan pembersihan total, mulai dari Jakarta, Jawa Tengah, kemudian sampai operasi Jawa Timur. Bahkan dalam kaca mata NP, Â sampai ada dugaan terbunuhnya Gubenrnur Sutedja di Bali.
Merujuk pada film G30S/PKI karya Arifin C. Noer, menurut NP bahwa  kalau peristiwa setelah 30 September 1965, tidak muncul. Karena itu, mungkin menurut pihak korban yang dibantai (anggota PKI dan simpatisannya), merasa tidak puas. Tidak ditampilkan  di dalam film dan cerita dalam buku-buku, kurang lengkap. Karena itu, menurut pemahaman NP, dua perspektif ini harus dijernihkan.
Kedua, dari sisi hukuman, perspektif hukum dan HAM. Menurut NP, Komnas HAM memandang bahwa peristiwa sebelum 30 September (1965), ini baru pandangan bukan sikap. Karena sikap hukum HAM, human right justice system itu adalah pelakunya selalu the state actor (aktor negara), maka dimaknai peristiwa sebelum 30 September (1965) adalah nonstate actor (bukan aktor negara).
Maka menurut NP, hukumannya adalah tidak di human right tetapi di criminal justice system, pidana. Itu pola pandangannya dalam konteks human right. Tapi setelah 30 September 1965 ke atas itu jelas dalam rangka pemantapan Pancasila, penguatan NKRI, pengendalian keamanan Nasional dan ketertiban, maka dilakukan secara sah dan meyakinkan dilakukan oleh negara, the state actor. Korbannya adalah rakyat sipil, maka human right. Ini di dalam konteks Komnas HAM.